Pergi dan Tak Pernah Kembali

"Aku duluan, ya."

Dan kalimat itu ternyata merupakan kalimat terakhir yang kudengar darinya. Setelah mengucapkan itu, dia pergi. Dan tak pernah kembali.

***

Siang itu sungguh terik. Aku menunggu sendirian di bangku taman kota–tempat biasa kami bertemu.

"Maaf ya, aku terlambat lagi."

Tiba-tiba ada suara yang mengagetkanku. Ah, ternyata dirinya.

"Iya, nggak apa-apa kok."

Aku sudah mengenalnya bertahun-tahun. Menjalin persahabatan baik dengannya. Setiap masalah dengan kekasihnya selalu ia ceritakan kepadaku. Dan siang ini sepertinya ia akan bercerita lagi. Tanpa ia sadari bahwa setiap cerita dan nama perempuan yang terlontar darinya membuat hatiku teriris sedikit demi sedikit.

"Aku putus dari dia."

Ujarnya membuka percakapan.

"Kenapa?"
"Dia bilang aku nggak peduli sama dia. Jadi barusan aja dia putusin aku."
"Oh."

Hanya 'oh' singkat yang dapat aku berikan. Kemudian kami terdiam lama. Aku tak sadar bahwa ia sedang memangku sebuah kotak biru besar.

"Jadi hari ini kamu cuma mau ngomong itu?"
"Ada sih hal lain yang mau aku bilang. Tapi aku nggak tau harus bilangnya gimana."
"Ya bilang aja kali. Kan kamu punya mulut."

Hening.

"Sebenernya jodohku di mana, ya? Kaya ngga pernah ketemu."
"Trus kalo kamu udah ketemu jodohmu, kamu akan bahagia?"
"Mungkin."
"Kok mungkin?"
"Soalnya duduk berdua sama kamu di sini aja aku udah bahagia. Rasanya aku nggak usah pura-pura jadi orang lain. Aku bisa jujur apa adanya."

Perkataannya barusan membungkamku.

"Kok diem?"
"Nggak apa-apa."

Hening kembali.

"Kamu lebih milih orang yang kamu sayangi atau yang sayang sama kamu?"
"Yang sayang sama aku."
"Trus kalo misalnya aku yang sayang sama kamu, kamu bakal apa?"

Deg. Aku bingung. Saat ini aku harus bahagia karena orang yang selama ini aku sayang juga sayang sama aku, atau malah sedih karena itu artinya persahabatan kita bakal sampe sini aja"

"Udah jujur aja."
"Kalau aku jawab 'aku seneng', kamu bakal apa?"
"Ya aku akan tembak kamu sekarang. Dan kasih ini. Hadian yang udah aku siapin."
"Emang isinya apaan?"
"Buka aja."

Dia memberikan kotak yang dari tadi dipangkunya itu. Dan aku terkejut saat membukanya. Sebuah tulisan 'I ♥ U' gede banget.

"Ini beneran?"
"Ya beneran lah. Masak aku bohong. Kita udah sahabatan sejak kecil. Dan rasa ini terus tumbuh. Tapi aku gak mau persahabatan kita rusak. Udah gitu aja."

Aku diam. Bingung.

"Kok diem?"
"Nggak tau harus ngomong apa."
"Kamu sayang nggak sama aku?"
"Kalo sayang kenapa emangnya?"
"Kalo kamu sayang sama aku ya kita sepakat dong."
"Sepakat apaan?"
"Sepakat kalo mulai sekarang kita bersama."
"Oh. Kupikir sepakat kalo udah ga sahabatan lagi."
"Ya nggak lah."

Semenjak hari itu, semua luka dihatiku sembuh seketika. Siang berganti jadi sore, dan sore ini aku menghabiskan waktu dengannya sembari melihat senja.

"Senjanya bagus banget, ya. Warnanya cantik."
"Iya. Kaya kamu."

Kotak biru darinya masih ada dipangkuanku. Ia beranjak berdiri dari bangku.

"Mau ke mana?"
"Mau pulang. Udah malem. Kamu bisa kan pulang sendiri? Maaf aku nggak bisa nganterin."
"Bisa, kok. Hati-hati di jalan."
"Aku duluan, ya."

Ia pun berjalan pergi.

***

Pagi ini aku tersentak karena sebuah berita yang aku terima dari seseorang.

"Dia kemarin nggak bisa dihubungi. Jam 10 malem aku dapet kabar dari rumah sakit. Dia udah pulang."

Demikian sms dari kakaknya. Dia beneran pulang.

"Trus gimana, Mbak?"
"Kamu bisa ke sini? Ada surat yang ditemukan di mobilnya. Ada nama kamu di situ."

Aku segera bergegas pergi ke rumahnya. Telah banyak orang di sana. Aku dengan cepat menemukan sosok yang tadi pagi mengirimkan pesan singkat kepadaku. Ia tengah membawa secarik kertas.

"Ini ada di genggaman tangannya pas dievakuasi."

Kubaca surat itu perlahan

Hai, kamu yang sudah mencuri hatiku
Aku udah simpan rasa ini dari dulu. Bahkan dari hari pertama kita ketemu. Tapi aku nggak tau gimana cara ngomongnya. Orang bilang sih cinta monyet. Tapi pas udah umur segini, aku sadar kalo cinta itu beneran tumbuh dan aku nggak bisa menahannya. Sampai sore itu aku memberanikan diri. Sebab di saat yang sama aku merasa kalo aku akan pulang. Aku udah siap mental kalo kamu nolak aku. Tapi ternyata semuanya di luar ekspetasi. Aku nggak nyangka akan sebahagia ini. Dan aku sangat berterimakasih sama kamu. Maaf aku nggak bisa menahan kepulanganku. Ini udah diatur sama Yang Maha Kuasa. Aku pikir, aku juga udah kangen rumah. Tapi begitu udah ada di sini, aku kangen kamu. Nggak ada lagi yang mengganjal di hati. Aku bahagia, dan aku harap kamupun juga begitu.

"Kamu spesial banget buat dia. Saya juga berharap kamu bahagia."
"Terimakasih, Mbak."
"Silahkan kalau kamu mau lihat dia untuk yang terakhir kali."

Aku tersenyum kecil. Melangkah masuk dan melihatnya. Dia tersenyum, namun memejamkan mata.

"Aku duluan, ya."

Dan kalimat itu ternyata merupakan kalimat terakhir yang kudengar darinya. Setelah mengucapkan itu, dia pergi. Dan tak pernah kembali.

***

Vina Kanasya

Comments