Matahari yang Jatuh Cinta pada Seorang Gadis

Gadis itu bersembunyi saat aku muncul. Saat cahayaku mulai bersinar di ufuk timur. Namun aku masih bisa melihat senyumannya. Tersirat rasa lelah di balik wajahnya. Dia perlu istirahat, pikirku. Sepertinya selama aku tidur tadi dia masih terus terjaga. Gadis itupun menghilang dari pandanganku. Senyumku pagi ini tak secerah biasanya.

"Ada apakah Matahari sahabatku? Engkau tak seceria biasanya." tanya Awan padaku.

"Aku tidak apa-apa, Awan. Aku hanya mengkhawatirkan gadis itu. Kau sendiri...pagi ini terlihat sangat terbebani. Ada apa?" ujarku.

"Hari ini banyak sekali bebanku. Entah aku bisa menahannya atau tidak..." perkataan Awan menggantung.

"...aku lebih mengkhawatirkanmu, Matahari."

Aku diam. Tak tahu harus mengakatakan apa.

"Siapa gadis yang kau khawatirkan itu?" tanya Awan. Tajam.

"Gadis itu...gadis yang telah mengisi hatiku selama ini."

"Untuk apa mengkhawatirkannya? Ia hanya kelelahan dan perlu istirahat saja." ujar Awan. Dingin.

"Tenanglah, ia tak sendirian semalam. Bulan menemaninya."

"Jadi, ia berteman dengan Bulan?"

Aku tak yakin dengan apa yang baru saja aku dengar.

"Iya. Mereka sudah berteman cukup lama. Bulan selalu menemaninya kapanpun ia bisa."

Aku tidak tahu lagi harus berkata apa. Aku begitu mencintai gadis itu. Meskipun masih banyak gadis lain, tapi aku hanya mencintai dia. Gadis yang selalu ditemani Bulan. Mengapa Bulan? Mengapa bukan aku? Dan mengapa ia tak pernah muncul saat aku tengah bersinar di angkasa?

"Awan..."

"Iya?"

"Mungkinkah aku dan gadis itu bersama?"

"Mungkin saja..."

Aku terdiam.

"Matahari..."

"Ya?"

"Jika ada gadis lain yang lebih baik darinya, dan gadis tersebut mencintaimu, apa yang akan kau lakukan?"

"Aku belum pernah memikirkan hal itu. Namun, hatiku hanyalah untuk gadis itu."

"Bukankah lebih baik memiliki orang yang sudah pasti mencintaimu daripada kau tersiksa seperti ini? Mencintai seorang gadis tanpa pernah tahu apakah kau dan dia bisa satu."

"Namun memiliki seseorang yang tidak aku cintai sama artinya dengan memenjarakan diriku sendiri dalam sebuah hubungan yang tak diinginkan."

Sunyi sejenak. Aku melihat awan dengan tatapannya yang berbeda dari biasanya. Ia menunjukkan sebuah ekspresi yang belum pernah ia tunjukkan sebelumnya.

"Mengapa kamu begitu mencintai gadis itu? Seperti air dan api, kalian tak akan pernah satu."

"Yang namamya cinta tak pernah melihat keadaan, Awan."

***

Sore menjelang, aku akan segera bergantian tugas dengan Bulan. Saat aku hampir memejamkan mata dan meredupkan sinarku untuk beristirahat, aku melihat gadis itu. Ah...aku begitu mencintai gadis itu. Namanya sangat indah. Telah kuukir rapi nama gadis itu dalam hatiku.

"Bulan, kau di mana?"

Aku tahu-tahu mendengar suara merdu gadis itu. Namun, ia terlihat sangat pucat.

"Lihat, Matahari. Yang dicari gadis itu adalah Bulan. Bukan dirimu."

Awan tiba-tiba muncul.

"Aku tahu sesuatu tentang gadis itu, Matahari."

"Apa yang kau ketahui?"

"Gadis yang selama ini kau cintai, yang bernama Bintang, adalah seorang penderita penyakit Xeroderma Pigmentosum. Penyakit yang membuatnya tak boleh terkena sinarmu sedikitpun. Ia hanya bisa beraktivitas di malam hari, oleh sebab itu ia hanya berteman dengan Bulan, Bintang-bintang,dan Awan Malam."

Aku tak tahu lagi harus mengatakan apa.

"Salahkah bila aku mencintainya meski kita tak bisa bersatu?"

"Tidak. Tidak salah. Mencintai adalah hak setiap makhluk ciptaan Tuhan."

Kulihat gadis itu sekali lagi sebelum aku bergantian dengan Bulan. Kutatap ia dengan tatapan penuh arti. Ia sangat cantik dan anggun. Aku sangat mencintainya.

Teruntuk kamu yang aku cintai

Aku senang bisa menjadi Matahari. Meskipun ini artinya aku hanya bisa mengagumimu dari jauh. Meskipun engkau tidak boleh terkena sinarku sedikitpun. Namun semoga saja kau tidak membenciku. Kau adalah alasanku untuk bangun setiap pagi dan menyinari bumi ini. Aku sangat senang bila melihatmu tersenyum saat senja datang, saat aku harus bertukar tugas dengan Bulan. Meski hanya sebentar saja aku melihat senyummu, namun bagiku, itu sudah lebih dari cukup. Tetaplah tersenyum meski aku hanya hanya bisa melihatnya saat senja, Bintang.

Tertanda,
Matahari
Pengagum rahasiamu

Vina Kanasya

Comments