Tulisan yang buat aku menang Best Writer DBL 2016

 What I've been talking about lately is finally here to see the bright of the daylight.

Hi hi hi hiiiii

Sudah lama sekali nggak nulis pake Bahasa Indonesia. Bukan, bukan karena nilainya B di transkrip, cuma emang selalu merasa lebih ekspresif dan flow nya lebih enak aja kalo pake Bahasa Inggris.

Oke, jadi, less than a month ago, I wrote this post. Dan disitu aku bahas lagi soal Best Writer. Dan tanpa aku sadari, aku belom pernah sama sekali ngepost tulisan yang buat aku menang best writer di mana pun. Tulisan itu aku post di websitenya DBL Journalist Competition (yang bahkan sekarang udah ngga ada wkwk), 5 tahun yang lalu. Di post itu aku nulis:

 

 "When it came to the awarding night, I made an excuse not to come because I thought it would be just a waste of time. But as soon as I sent my message, suddenly, one of the committees contacted me, telling me that I won something. I went, “WHAAAAT?!” and so I came because I was curious.

Never in my life had I imagined I would bring home the 'Best Writer' title, never. And yeah, that was the award I got that night. It was crazy and felt like a dream. I was the best writer in a journalist competition that was a part of the most prestigious basketball competition at that time."

Sama dengan apa yang aku tulis di postku tahun 2016 sebulan setelah aku dapet gelar itu. Klik di sini untuk baca, kalo ngga harus scroll sampe September 2016 buat baca. Judul postnya "Basket, Best Writer, dan Perpisahan." Cringe banget bacanya, aku pakenya 'saya' lagi. Bacanya jadi try not to cringe challenge banget.

Tapi di post itu, aku cerita lengkap mulai dari awal mula ditawarin Joaene ikut lombanya, ikut latihan di lapangan asrama, senengnya pas mereka menang, patah hati pas mereka kalah, ngechat batal ikut Journalist camp dan tiba-tiba dichat panitia kalo aku menang sesuatu, sampe aku bawa pulang gelar Best Writer 2016 itu tadi.

Baru-baru ini, tepatnya kemaren Sabtu, aku ikut FGD untuk researchnya Miss Truly dan Ms. Yuseva. Topiknya, you guess it, writing. Nggak, bukan writing in general, tapi writing assessment. FGD dimulai dengan cerita personal masing-masing yg ikut tentang awal ketertarikannya sama menulis, pengalaman positif dan beberapa hal lain. Dan di FGD itu, lagi-lagi aku cerita tentang menang Best Writer yang buat aku sampe sekarang masih jadi kebanggaan banget, walaupun udah 5 tahun yang lalu. Aku masih merinding ingetnya, momen di mana MC acara itu nyebut nama lengkapku dan menyatakan gelar itu untuk aku. Punya aku.

Tapi dari FGD itu, yang bikin aku mikir adalah, have I posted that writing somewhere other than the website that is now had been deactivated? Ternyata jawabannya belom. Aku belom pernah post tulisan itu. Sebelum FGD itu aku juga sempet ngobrol dan catch up sama temen SD aku tentang banyak hal. I owe her an apology, although, it had been 10 years late dan di pertemuan itu kita bahas banyak banget, dari masa SD sampe sekarang kuliah masing-masing, dan soal DBL juga, dan beberapa hal lain yang, biarlah tertinggal di percakapan kita di salah satu gerai donat di mall di Jogja, Kamis, 8 April 2021 kemaren. 

Jadi, post ini, dengan introduction sepanjang itu, aku cuma mau post tulisan yang bikin aku menang gelar Best Writer DBL Journalist Competition 2016 itu. 

Oiya, di awarding night itu, panitia yang ngechat aku juga bilang, kalo sebenernya tulisan itu 'kurang'. Well, emang nggak akan ada tulisan yang sempurna. Tapi, ketika hari ini aku obrak-abrik hardisk nyari tulisan itu, aku baru paham maksudnya Mbak Inayah malam itu. Tulisan itu kurang panjang, kurang mendetail walaupun judulnya emang eye-catching. Sebenernya masih banyak yang bisa dibahas dalam tulisanku, tapi aku malah memilih untuk mengakhirinya lebih cepat. Karena, ketika kuingat balik, aku menjurikan tulisan itu juga tanpa ekspektasi apa-apa.

Yang aku tau, since day 1, I know I want tto write that topic untuk penjurian. Literally zero expectation. Karena aku liat jurnalis lain tu pada keren-keren tulisannya. Aku yang menangis bacanya dan merasa bener-bener gak bakal bisa nyaingin mereka. Technically, aku emang nggak ngalahin mereka karena masih ada juara 1, 2, dan 3. Juara umumnya gitu. Tapi gelar Best Writer? Never in my life had I imagined I would get that one. Gelar satu itu kaya way out of my league. Pendahuluku, mentok di best spirit karena dia tiap hari ke sana, dan aku nggak seniat itu untuk tiap hari dateng. Waktu itu aku ngiranya best social media, soalnya aku spamming banget post di IG, dan ketika gelar itu jatuh untuk orang lain, aku udah hopeless. Baca aja lengkapnya di tulisan th 2016 ku. Trigger warning, it is very cringe!

Lupa kan jadinya wkwk

Oke, jadi setelah aku cheers nanti, itu adalah tulisan yang 5 tahun lalu mengantarkanku mendapat gelar Best Writer DBL Journalist Competition DIY Series.

 Eh baru inget lagi nih HAHAHA

Aku masuk koran karena menang best writer itu! Hahahaha korannya aku laminating, susah tapi carinya. Ini aku kasih link berita onlinenya aja ya :)))) Jadi habis Journalist camp itu, aku tiba-tiba di chat salah satu panitia. Pokoknya ditanyain seputar apa persiapanku untuk lombanya itu. EH TERNYATA JADI BAHAN TULISAN KORAN DONGGG WKWKWKWK. Klik disini kalo mau baca. Linknya surprisingly works guys, you can read it. Tentang akunya cuma 2 paragraf, tapi udah bikin seneng banget :")) Udah itu aja, nanti malah kutambahin lagi gajadi ke tulisannya lol.

 

Cheers,


Vina Kanasya

--------------------

Jaqueline: "Aku di Bench, Kenapa Diteriakin?"

Sepasang Kembar di Tim Basket Stero

ALFONSA VINA KANASYA (SMASTELLA DUCE 2) | 13-Aug-2016

Kembar identik adalah salah satu wujud karya Tuhan yang luar biasa. Alangkah istimewanya ketika 2 atau lebih orang memiliki wajah yang serupa. Hal ini juga merupakan anugerah bagi saudara kembar itu sendiri. Biasanya, kebanyakan anak kembar amatlah dekat, seolah tak terpisahkan sejak lahir. Hal ini juga yang terjadi pada pasangan kembar Jaqueline Valencia Doranggi (Je) dan Josefien Graciella Doranggi (Jo).

Je dan Jo adalah pemain basket dari SMA Stella Duce 2 Yogyakarta. Keduanya sama-sama bermain di ajang DBL ini. Jaqueline lahir 2 menit lebih dulu dibanding Josefien. Enam belas tahun bersama, pertengkaran antara mereka juga tak terhindarkan. Je dan Jo sering diem-dieman, karena menurut Jo, Jaqueline itu egois. Hal tersebut terjadi karena saat Jo menginginkan sesuatu, Je merasa lebih baik mengalah, sehingga Je pun lantas mendiamkan Jo paling tidak sehari. Mereka baru berbaikan ketika muka Jo sudah menunjukkan bahwa dia akan menangis. “Baikannya karena dia (Jo) mukanya udah mau nangis, aku kasian,” jelas Je.

Muka yang sangat identik membuat keduanya cukup sulit dibedakan. Apalagi, kini mereka ada di kelas yang sama. Satu-satunya guru yang bisa membedakan Jaqueline dan Josefien adalah guru biologi Stero, Ibu Christin, yang sekaligus menjadi guru favorit mereka berdua. Bahkan sang wali kelas dan coach Merari Puay masih sering terbalik. “Misalnya di lapangan, aku di bench, Jo yang main. Nanti yang Mas Mer teriakin itu Je. ‘Jaqueline, kamu harus jaga yang itu.’ Dibatinku, ‘Mas, ini lho aku tu duduk. Kenapa dipanggil?’” ujar Je. Bukannya kesal, Jo dan Je malah merasa lucu ketika orang-orang terbalik memanggil mereka. Je mengatakan bahwa memang sejak kecil keduanya sulit dibedakan, jadi sudah sering salah dipanggil.

Ketika masih kecil, Jo dan Je dibedakan melalui gelang nama. Kini, perbedaan antara Jo dan Je bisa dilihat dari tinggi badan dan tahi lalat di muka. Je, lebih tinggi dan berisi, sementara Jo sedikit lebih pendek dibanding Je. Kalau di muka, tahi lalat Je ada di atas bibir, sementara tahi lalat Jo ada di bawah bibir. Ketika bermain di lapangan, nomor punggung 8 dipakai oleh Jo sementara Je memakai angka 12. Namun, coach Merari Puay belum pernah menurunkan mereka di lapangan secara bersamaan saat sparing. Mereka baru bermain bersama untuk pertama kalinya saat pertandingan melawan MAN 3 di quarter ke-3 pada Kamis (4/8). Keduanya pun merasa senang akhirnya bisa bermain bersama.

Jika ditilik lagi ke belakang, perjuangan untuk menjadi tim DBL tidaklah mudah. Je telah berjanji dengan seorang teman untuk sama-sama mengikuti DBL. Sementara Jo, cukup mudah terpengaruh oleh keinginan Jaqueline. Mereka berdua sesungguhnya tidak menyangka bisa lolos seleksi tim DBL. Saingan yang berat, sampai latihan fisik ke daerah Imogiri yang diawali sejak subuh adalah tantangan bagi mereka untuk lolos seleksi. Keduanya amat bersyukur bisa menjadi tim DBL yang mewakili Stero. DBL membawa kebahagiaan istimewa bagi keduanya. Jo, merasa senang karena bisa disupport banyak orang, terutama orang tersayang. Je, merasa amat bersyukur karena dia punya kesempatan mengikuti DBL.

Nikola Alodia Rinanto, kapten dari Tim Basket Stero bersyukur dengan keberadaan pasangan kembar Je dan Jo dalam tim. “Mereka kaya punya chemistry sendiri. Kalo ngedefense pas main bareng, mereka punya pemikiran yang sama. Saling bantu dan ngingetin satu sama lain. Seru lah main sama mereka,” ujarnya. “Bersyukurnya gak bisa dideskripsiin. Aku seneng banget punya bigman di tim kaya Jo, Je, Joaene sama Kiren,” pungkasnya. Berjuang selama kurang lebih satu tahun menciptakan suatu kebersamaan yang luar biasa bagi Tim Basket Stero. Makan dan nongkrong setelah latihan, serta sharing bersama adalah hal yang takkan terlupa bagi ke-11 pemain basket Stero. Basket telah mempersatukan mereka menjadi sebuah keluarga.

-----

Comments