Semua Pertanyaan Punya Pasangan Jawaban

“Semua pertanyaan selalu berpasangan dengan jawaban. Untuk keduanya bertemu, yang dibutuhkan cuma waktu.” –Dee, Partikel

Bulan Juni sudah jalan 2 minggu. Bentar lagi terima rapot, libur sebulan, dan ketika nanti balik ke sekolah, (semoga) udah jadi anak kelas 12 yang bakal disibukkan dengan macam-macam tugas dan latihan ujian untuk persiapan UN. Kalau ada orang yang tanya, harapan terbesarku setelah naik kelas apa, jawabanku adalah sekelas sama Joaene Augustine. Aku udah sempet bikin kasaran tentang komposisi kelas 12 IPA 1 dan 2 (gila aku selo banget, padahal mah sebenernya mengabaikan dan membiarkan banyak tugas terbengkalai). IPA 1 bakal diisi anak-anak dengan nama depan A kebawah. Dan sebenernya peluang sekelas sama Joaene itu 50%. Well, apapun keputusan wakakur nanti, aku berharap banget bakal sekelas sama Joaene.


Well, setelah beberapa bulan terakhir pikiran chaos, nangis mulu tiap malem, ngerjain apapun total tapi ga pake hati, bahkan sempet tiba di titik terjenuh yang kampretnya terjadi di hari-hari menjelang ulangan kenaikan kelas lalu, finally aku menemukan jawaban dari pertanyaanku. Melepaskan dan berdamai. Bagiku, melepaskan itu bener-bener butuh kerelaan dan keikhlasan yang lebih besar daripada sekedar melupakan. Kita bisa aja melupakan kenangan bersama seseorang, tapi belom tentu kita rela orang itu pergi, kan? Kadang kita belom ikhlas ketika orang yang ninggalin kita udah nemu penggantinya sementara kita belom. Kadang masih sulit bagi kita untuk melepaskan seutuhnya. Ibarat balon deh. Balon berisi helium yang bisa terbang bebas ke langit kapan saja ketika kita melepaskanya. Percaya sama aku, ketika kita beneran ikhlas dan rela seseorang pergi dari hidup kita, kita bakal jadi orang yang paling bahagia. Terkadang jawaban dari sakit hati adalah melepaskan. Karena kalau terlalu sakit untuk dipertahankan, nggak ada jalan lain selain melepaskan, kan? All you can do is just to let it go.

Berdamai, Vin? Ya, aku bilang berdamai. Berdamai dengan masa lalu. Kita nggak akan pernah bisa melupakan masa lalu, karena gimanapun kerasnya kita berusaha melupakan, masa lalu itu tetep menjadi bagian dari perjalanan hidup kita di dunia ini.

“Ketika tidak ada lagi yang bisa kau buat, setelah begitu banyak usaha terbaik dilakukan, maka saatnya untuk bersabar. Cepat atau lambat, keajaiban akan tiba. Dan ketika tiba, dia datang tak tertahankan, bahkan tembok paling keras pun runtuh.” –Tere Liye, Amelia

“Bersikap baik pada seseorang yang pernah kau benci bukan berarti kau penuh kepalsuan, itu berarti kau cukup dewasa untuk memaafkan.” –fiersabesari

“Bukan seberapa lama umat manusia bisa bertahan hidup sebagai ukuran kebahagiaan, tapi seberapa besar kemampuan mereka memeluk erat-erat semua hal menyakitkan yang mereka alami.” –Tere Liye, Hujan

“Tetapi sesungguhnya, bukan melupakan yang jadi masalahnya. Tapi menerima. Barangsiapa yang bisa menerima, maka dia akan bisa melupakan. Tapi jika dia tidak bisa menerima, dia tidak kan pernah bisa melupakan.” –Tere Liye, Hujan

Quotations di atas itu cukup menggambarkan perasaanku, dan apa yang aku pikirkan beberapa bulan kemaren. Aku telah belajar bagaimana berdamai dan memeluk erat semua masa lalu, semua kenangan yang menyakitkan itu. Sekarang, udah ga ada lagi Vina yang nangis-nangis kalo mengingat kejadian-kejadian itu. Semua kenangan itu nggak lagi menyakitkan, setiap kali aku mengingat beberapa kejadian (yang dulu amat menyakitkan), aku udah bisa senyum, dan mengambil hikmahnya.
Aku pernah bilang, “Terkadang, kita harus berhenti sejenak, melihat ke belakang, lalu bersyukur. Untuk kemudian kembali melangkah maju.” Kadang kita nggak sadar, sudah seberapa jauh kita melangkah, meninggalkan berbagai kenangan di belakang. Entah yang manis, entah yang pahit. Kenapa perlu menoleh ke belakang? Agar kita sadar, kalo seberapa jauh pun kita melangkah meninggalkan kenangan itu, kenangan itu akan terus ada. Kita harus menyadarinya sebagai suatu pelajaran hidup yang amat berharga, agar kelak, kita bisa berkembang menjadi manusia yang lebih baik lagi. Berdamai, dan memeluk masa lalu.

Segala sesuatu di dunia ini terjadi karena sebuah alasan, dan kita seringkali penasaran dengan alasan itu. Mungkin banyak dari kita yang berpikir bahwa dengan mengetahui alasan tersebut, kita jadi bisa berdamai dan melepaskan. Menurutku, justru nggak. Bagiku, disitulah pelajaran hidup yang paling berharga. Belajar menerima. Kalo kata Dee, “Semua pertanyaan selalu berpasangan dengan jawaban. Untuk keduanya bertemu, yang dibutuhkan cuma waktu.” Cuma butuh waktu. Pertanyaan kita sekarang, mungkin baru akan terjawab barang sepuluh dua puluh tahun lagi, atau malah mungkin baru akan terjawab ketika kita udah dipanggil Sang Pencipta untuk pulang. Jawaban yang mungkin akan diberikan langsung oleh Sang Pencipta. Ada pertanyaan yang memang bisa langsung terjawab, tapi ada pula yang baru akan terjawab di kemudian hari.

Semoga tulisan ini bisa jadi refleksi, nggak cuma buat aku, tapi juga buat para pembaca.
Sebenernya tulisan ini sudah aku buat sejak tanggal 3 Juni. Tapi entah kenapa tiba-tiba nggak ada ‘feel’ buat ngelanjutin. Baru dapet ide lagi setelah baca novel “Hujan” karya Tere Liye.


Cheers,
Vina Kanasya

Comments