Saya nggak tau harus kasih judul apa tulisan ini. Saya capek sama kurikulum baru. Nggak cuma saya, tapi juga teman-teman saya yang lain. Saya rindu KTSP. Saya rindu masa-masa sekolah saya yang dulu. Saat di mana yang dikeluhkan adalah harga buku. Bukan kondisi yang memaksa kami harus mencari bahan sendiri. Saat di mana beratnya buku paket adalah hal yang kami keluhkan. Saya rindu saat di mana saya dan teman-teman harus berjuang setengah mati mencatat berbagai rumus fisika yang dituliskan guru kami di papan tulis. Singkatnya, saya rindu masa SMP saya. Di mana buku kami selalu penuh dengan materi pembelajaran—yang entah kami dapatkan dengan mencatat dari papan tulis atau didiktekan oleh guru kami. Saya rindu tawa canda yang masih bisa terbit di muka teman-teman saya meski tugas menghantui. Meski rasa lelah tak tertahankan. Saya rindu tugas-tugas yang membuat kami bergantung pada buku dan pengetahuan umum—bukan berbagai alat elektronik dan jaringan internet. Saya rindu hari Jumat di SMP. Di mana kami pulang awal, lalu menghabiskan waktu sampai sore di sekolah bersama teman-teman. Saya rindu penjelasan guru-guru yang juga terkadang membuat saya mengantuk. Saya lelah dengan semua ini. Apa kabar pemerintah? Mana buku yang dijanjikan? Mengapa lama sekali?

Saya rindu sore saya yang selo. Saat tugas tak terlalu banyak dan membebani pikiran. Saat saya bisa menikmati indahnya langit senja di Yogyakarta sembari mendengarkan radio atau membaca novel.

Kami bukan robot yang bisa bekerja siang dan malam, 24 jam, 7 hari seminggu. Kami manusia. Kami bersekolah karena kami ingin belajar. Karena kami ingin menerima pelajaran dari para guru. Bukan karena kami sudah pintar, sehingga kami sudah tahu apa yang akan dipelajari. Kalau kami sudah pintar, apalah gunanya sekolah? Untuk menyombongkan kepintaran dan pamer kemampuan? Untuk cari teman dan popularitas? Sama sekali bukan. Kami sekolah karena kami ingin belajar. Kami ingin belajar dari para guru. Bukan dari jaringan internet dan seperangkat komputer yang bahkan tak bisa bicara.

Isu yang beredar mengatakan bahwa libur semester hanya seminggu. Bertambahlah lagi beban hidup kami. Maaf kalau kami malah jadi membandingkan pendidikan di Indonesia dengan pendidikan di luar negeri.

Yang kami butuhkan adalah penjelasan. Bukan pertanyaan pengantar yang harus kami cari jawabannya sendiri.

Kami manusia, kami lebih butuh cinta dan pengertian daripada jaringan internet dan seperangkat alat elektronik. Telepon pintar dan koneksi internet malah membuat kami lumpuh dan tidak peduli sekitar.

Vina Kanasya

Comments

Post a Comment