Mesin Waktu dalam Tatapan Mata

Rasanya baru kemarin aku bertemu kamu. Tanpa sengaja. Di sebuah halte bis sore itu. Saat hukan deras mengguyur kota ini. Kamu mengajakku berkenalan. Mungkin karena persamaan nasib. Sama-sama kehujanan. Lalu berteduh di tempat yang sama pula

Kau memulai percakapan dengan mengatakan bahwa kau mencintai hujan. Ah...unik sekali. Aku belum pernah bertemu dengan laki-laki yang mencintai hujan. Aku mendengarkan ceritamu seperti seorang anak yang sedang mendengarkan dongeng sebelum tidur dari ibunya. Kau bercerita dengan begitu mempesona.

Waktu menetes bersama air hujan yang turun ke bumi. Tak terasa hujan pun reda. Sebuah keajaiban terjadi. Saat titik-titik air hujan terkena sinar matahari. Dan membentuk tujuh warna. Merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, dan ungu. Kau dan aku terdiam dalam beku menatap pelangi.

"Kata orang, saat pelangi muncul, bidadari-bidadari surga sedang turun ke bumi."

Begitu katamu saat melihat ke arah tujuh sinar ajaib itu. Lalu kau menatapku. Dalam. Tajam. Aku menganggukkan kepala tanda setuju.

"Dan kukira, salah satunya sedang berada di sampingku."

Aku terkejut. Kau dan aku sepertinya belum pernah bertemu sebelumnya.

"Aku merasa sangat tenang dan bahagia saat bisa menikmati hujan bersama seseorang yang istimewa sepertimu."

Begitupun aku, sambungku dalam hati.

"Namun sepertinya kita belum pernah bertemu. Atau mungkin kita sudah pernah bertemu di masa lalu."

Tambahmu dengan gelak tawa yang terdengar begitu menyenangkan. Kau kembali menatapku tajam.

"Aku belum pernah bertemu perempuan seistimewa dirimu. Perempuan-perempuan di kantor tempat aku bekerja sangat membenci hujan. Ya, kau taulah orang kantoran. Saat hujan turun, mereka jadi enggan untuk beranjak dari kantor. Meski untuk urusan pekerjaan sekalipun."

"Hmm, ngomong-ngomomg, menurutmu aneh tidak bila seseorang jatuh cinta pada orang yang bahkan ia tak tak tahu namanya?"

Aku terdiam. Kaget.

"Menurutku bisa saja. Kau tak perlu tahu nama orang itu untuk jatuh cinta kepadanya, kan? Cinta itu bukan cuma soal nama. Cinta itu soal perasaan."

Aku menjawab semampuku. Udara dingin yang lahir karena hujan menusuk tulangku.

"Akhirnya aku mendengar suaramu, Nona. Dari pertama kita bertemu kamu hanya diam."

Lalu kau dan aku sama-sama diam dalam sunyi. Tau-tau kamu melepaskan jaketmu dan memakaikannya kepadaku.

"Kamu kedinginan, kan? Pakai saja jaketku. Aku tak tega meliat seseorang yang istimewa sepertimu kedinginan."

Aku hanya diam.

"Oh iya, kau bisa memanggilku Jey. Itu panggilan akrabku."

Aku hendak memberitahu namaku. Saat tiba-tiba kau meletakkan ujung jarimu di bibirku. Kau sepertinya tak ingin tahu namaku, Tuan.

"Tidak, aku akan menebak namamu. Nama perempuan yang telah membuatku jatuh cinta meskipun aku belum tahu namanya."

"Hmm... Lisa?"

Aku menggelengkan kepala.

"Jeanne? Via?"

Kau menyebut banyak lagi nama perempuan.

"Bagaimana kau bisa tahu namaku bila aku tidak memberitahumu?"

Ujarku sembari tertawa.

"Aku bisa meramal. Hmm, sebentar... Lei?"

Aku terkesiap. Benar.

"Benarkah namamu Lei?"

Aku menganggukkan kepala.

"Berarti indera ini berfungsi dengan baik."

Kau tertawa lagi. Ah...aku suka sekali melihatnya.

"Ngomong-ngomong...Lei, hujannya sudah reda. Bagaimana kalau aku mengantarkanmu pulang? Mobilku tak jauh dari sini."

"Baiklah, Jey."

Kamu menggandeng aku. Kita seperti sepasang kekasih yang sedang kasmaran.

"Silahkan masuk, Nona."

Aku terdiam saat Jey membukakan pintu mobilnya untukku.

"Nona?"

Aku tersadar dari lamunanku dan bergegas masuk ke mobil putih milik Jey. Jey mengantarkanku ke rumah setelah kuberitahu alamatku. Kami berpisah di gerbang depan.

"Selamat tinggal, Nona Bermata Cokelat. Sampai bertemu lagi. Kuharap ini adalah awal perjumpaan yang baik."

Aku melambaikan tangan kepada Jey. Mobil putih itu segera meninggalkan aku. Jaket Jey yang ada padaku lah yang kini sedang kuamati.

"Aku seperti mengenal bau parfum ini..."

***

Sepertinya aku pernah bertemu laki-laki itu. Tapi, kapan? Sejak kejadian itu aku lupa akan segalanya. Bahkan aku tak tahu namaku saat itu. Kecelakaan yang menimpa diriku membuat semuanya kacau. Aku harus mengulangi hidupku dari nol. Hmm, mungkin aku memang pernah mengenal laki-laki itu.

***

Leinata Taravie. Aku sudah mengenalmu, bahkan mengagumimu sejak lama. Aku sudah tahu bahwa yang aku lihat di halte bis tadi sore adalah dirimu. Namun ternyata, kau masih belum juga mengingat diriku. Sejak kecelakaan yang menimpa dirimu, kau lupa akan segalanya. Bahkan kau lupa namamu sendiri. Sampai detik ini, aku masih mencintaimu. Biarlah cerita ini kita ulangi lagi dari nol. Itupun kalau kau mengizinkannya. Ternyata nama panggilanmu masih sama. Lei. Dulu kau sempat ingin berganti nama, bukan? Kau pernah ingin dipanggil Lisa, Jeanne, dan Via. Itu karena kau terlalu banyak membaca novel fiksi. Kau bilang padaku bahwa mereka adalah tokoh putri yang dipuja banyak orang. Kau ingin seperti mereka. Aku masih ingat itu semua. Dan akankah kau percaya bahwa dulu kau juga mencintaiku? Tetapi saat dirimu masih lupa ingatan, seseorang memanfaatkannya dengan mengaku dirinya sebagai orang yang kau cintai. Orang itu datang kepadamu dan mengaku sebagai pacarmu. Ia bersikeras bahwa kau dan dia adalah sepasang kekasih. Denial. Ia mengaku diri sebagai kekasihmu. Dan kamu melupakan aku. Tapi aku yakin. Kekuatan cinta kita akan menyembuhkanmu dari sakit. Kekuatan cinta akan mengembalikan Leinata Taravie yang dulu. Yang mencintai Jeynoi Ratasie.

***

Sore nanti aku harus mengumpulkan artikelku untuk majalah kampus. Kupilih taman di tengah kota sebagai pelarianku setelah kuliah siang ini. Di situ ada sebuah gazebo kecil yang nyaman. Aku sering mengerjakan tugas di sana. Aku tiba di sana tepat saat hujan kembali turun ke bumi. Saat aku mulai mengerjakan tulisanku, kulihat seorang laki-laki dengan kemeja putih polos tergopoh-gopoh mencari tempat berteduh. Ia berjalan menuju gazebo tempatku duduk.

"Maaf, boleh saya ikut berteduh di sini?"

"Jey!"

"Lei?"

"Boleh dong."

"Tak kusangka kita bertemu lagi."

Kau kembali membuatku terkejut dengan ucapanmu. Aku diam. Kau duduk di sebelahku

"Ngomong-ngomong, jaketmu yang kemarin kau pinjamkan padaku ada di mobil. Nanti kalau hujannya reda biar kuambilkan."

"Terimakasih."

Sunyi sejenak.

"Lei... Boleh aku tanya sesuatu padamu?"

Aku terkesiap.

"Tanya apa, Jey?"

"Apakah  kau dulu pernah mengalami kecelakaan?"

Lagi, aku terkesiap.

"Bagaimana kau tahu?"

"Kalau benar iya, apakah kecelakaan itu membuatmu lupa ingatan?"

Aku terdiam. Aku mengangguk perlahan. Lalu kepalaku perlahan jatuh menunduk ke bawah.

"Tatap mataku, Leinata Taravie."

Aku mengangkat sedikit kepalaku. Kutatap mata laki-laki di sebelahku. Mungkin aku memang pernah mengenal Jey sebelumnya. Kutatap matanya yang dalam dan menyimpan sejuta misteri. Lama. Aku seperti ada di dalam mesin waktu. Kembali pada saat aku belum mengalami kecelakaan itu. Dan kutemukan sesuatu. Ingatanku.

"Leinata Taravie, kau ingat aku?"

Ragu. Akupun mengeluarkan suara.

"Jeynoi Ratasie, itukah kau?"

"Ya, ini aku, Lei. Jeynoi Ratasie. Orang yang dulu ada di relung hatimu. Orang yang dulu kau cintai. Orang yang dulu mencintaimu."

"Itukah kau, Jey...?"

Tanyaku tak percaya.

"Ya, ini aku, Lei."

Kutatap mata Jey sekali lagi dengan lebih dalam. Kini kutemukan lagi mesin waktu yang melemparkanku ke masa lalu. Sebelum kecelakaan itu terjadi dan merenggut ingatanku. Sebelum mobil yang dikendarai Anna ditabrak oleh orang mabuk dan mengakibatkan kecelakaan fatal pada ingatanku. Benturan keras yang kualami di kepala membuat aku lupa akan segala hal. Segalanya hilang. Dan sungguh aku telah bertindak jahat pada Jey saat itu. Aku menolaknya dengan keras dan menerima Denial sebagai kekasihku. Padahal, Jey-lah sebenarnya orang yang kucinta. Ketika tatapan mataku bertemu matanya, kurasakan ada kekuatan lain pada diriku. Itulah kekuatan cinta.

Tanpa ragu lagi, aku memeluk laki-laki di sampingku dengan erat. Aku tak mau kehilangan dia lagi.

"Maafkan aku, Jeynoi Ratasie."
"Tak apa, Leinata Taravie. Aku tahu bahwa yang saat itu menolakku bukanlah dirimu. Aku yakin suatu hari nanti kau akan kembali."

"Kekuatan cinta..."

Bisikku lembut.

"Ya, kekuatan cinta kita berdualah yang telah mengenbalikan dirimu."

Sisa sore mengalir dengan manis. Hujan telah mereda. Aku duduk di gazebo ini bersama orang yang sangat aku cintai.

"Kau tak perlu tahu nama orang itu untuk jatuh cinta kepadanya. Kau hanya perlu menatap matanya dan temukan kekuatan yang ada di situ."

"Kalau aku tak bisa menatap matanya, bagaimana?"

Tanyaku jahil.

"Kalau begitu, kau perlu memperhatikannya, lalu cari alasan untuk mencintainya."

Ah, Jey memang tak pernah berubah.

Artikelku secara ajaib selesai. Mungkin karena kekuatan cinta.

"Leinata Taravie..."

"Jeynoi Ratasie..."

Dan tujuh sinar yang ajaib itu muncul lagi. Merayakan kembali bersatunya pasangan kekasih yang telah lama hilang. Hujan reda. Langit tak lagi menangis karena sepasang anak manusia telah menemukan cintanya.

"Ngomong-ngomong, bagaimana kau masih ingat nama-nama yang ada dalam novel fiksiku? Lisa, Jeanne, dan Via."

"Kau dulu begitu ingin mengubah nama, bukan? Tentu aku ingat."

Ujar Jey sembari tertawa. Ah...aku suka sekali mendengar tawanya.

"Biarkan aku mengantarkanmu pulang, Jey."

"Baiklah, Nona Bermata Cokelat."

Aku dan Jey berjalan berdampingan menuju mobilku. Sore ini indah sekali. Aku begitu mencintai laki-laki ini. Ia mencintaiku sepenuh hatinya. Begitupun aku yang akan terus mencintainya sepenuh hatiku.

Vina Kanasya

Comments