Joining a writing competition and some other thoughts

Heyyyyaaa

Maaf sudah lama sekali nggak nulis lagi di blog. Terakhir rekap 2019, yang aku tulis di bulan Janunari 2020. Ulang tahun Februari 2020 juga nggak buat tulisan apa-apa. Maret berjalan normal, sampai pas pertengahan Maret keluar himbauan untuk #dirumahaja dan melakukan social distancing untuk mencegah penyebaran Covid-19.

And so here I am, day ??? of quarantine. Day 50 of quarantine (I just counted) [P.S: I started writing this on May 4th, and haven’t really been able to finish it until whatever day I eventually posted this. I was sick for 2 days and couldn’t do anything but laying on bed. Sorry for that <3]

Nggak ada yang menduga bahwa sampe akhir semester ini harus belajar dari rumah. Termasuk mata kuliah micro teaching, which is supposed to be conducted in the lab, akhirnya harus nyerah juga dan ngajarnya dengan rekam video di rumah. Awalnya, belajar di rumah diinstruksikan selama 2 minggu aja, menunggu perkembangan keadaan. Yang ternyata tidak membaik juga. Huft.


Di sisi lain, karantina ini memungkinkan aku untuk menyelesaikan proyek 1000 paper cranes-ku.






Why would I fold 1000 paper cranes?

“According to Japanese tradition, folding 1,000 paper cranes gives you a chance to make one special wish come true. In some variations of the tradition, you may be granted happiness and eternal good luck, instead of just one wish, such as long life or recovery from illness or injury.

The crane is an auspicious creature in Japanese folklore (the dragon and tortoise, too). The crane is said to live for 1,000 years—the significance behind the quantity you need to fold. Some believe that one person must fold 1,000 cranes within one year in order to get the blessings of that wish.” - www.thesprucecrafts.com


Antara percaya nggak percaya sama hal ini, tapi melipat origami 1000 paper cranes bikin aku tenang dan senang. Suka tiba-tiba overthink, dan ini adalah salah satu cara untuk menenangkan diriku sendiri. Saat ini, yang aku lipat udah hampir 800, tapi belum sempet ngelanjutin lagi karena tugas lagi buanyaaakk dann kemaren sempet sakit juga.

Anyway, I would like to tell y’all a story of how I joined a writing competition in this quarantine


Aku pengen cerita tentang gimana akhirnya aku memutuskan buat ikut lomba ini.

Jadi, aku tau lomba itu sekitar akhir Maret, tanggal 27an. DPA ku share di grup kelas. Aku liat dan langsung, “Wah asyik nih, ada cabang lomba kisah inspiratif.” Pas diliat, timeline nya juga sangat memungkinkan buat ikut. Daftar terakhir sampe tanggal 4. Dan aku pikir, “I got this.” Sayangnya, aku nggak bener-bener daftar sampe tanggal 3 April. Literally a day before the deadline. Salah satu syarat pendaftarannya itu screenshot kalo udah share info lomba ini ke 3 group WhatsApp. Salah satu grup yg aku share info ini adalah grup redaksi Dialogue, yang di respon Ms. Mega dengan bilang, “Tp deadlinenya besok.” And I just dead inside since...it is true! How can I write something serious in less than a day. OMG. Vina you are such a fool :)))))))

Jadi, biasanya, abis nulis sesuatu yang panjang dan serius, aku bakal berhenti pada poin tertentu, dan kembali beberapa jam kemudian untuk melanjutkan tulisan itu. Istilahnya ‘mengendapkan tulisan.’ Di tanggal 3 April itu, aku nulis dari pagi, siang, sore, sampe malem. Kalo istirahat disambi makan atau nonton YouTube. Sempet ada kelas Play juga di tengah-tengah itu, trus balik nulis lagi. File pertama cerita itu nggak jadi aku pake, kepanjangan, terlalu bertele-tele. Trus file kedua sama failnya. Dan akhirnya file ketiga. File ketiga yang aku kira akan jadi paling final pun, ternyata nggak jadi final. Setelah aku PDF kan, sudah dengan format nama file yang diminta, pokoknya siap submit banget, dan aku baca ulang lagi. Dan menemukan lagi bagian-bagian yang harus aku revisi karena aku nggak srek. Tiga kali revisi PDF kayaknya ada.


Sampe akhirnya aku bilang ke diriku sendiri, “Udah vin, jangan dibaca lagi. Ntar ada yang diedit lagi, nggak jadi lagi. Karena makin kamu baca, pasti masih ada yang bakal dibenerin. Tambah nggak kelar.” And I did what my brain told me to do so. Cek ulang sekali lagi, trus aku upload beserta surat pernyataan orisinalitasnya (I’m gonna tell you more on this later. Yes, there is something about this.) sekitar jam 4 sorean, di tanggal 4 April.

Setelah upload, aku akhirnya bisa rebahan dan tarik nafas (sejenak) setelah beberapa hari sebelumnya tidak nggak tidur sebelum jam 3 pagi, entah ngerjain tugas atau sekedar masih nonton YouTube. Habis aku upload itu, aku udah nggak mikirin lagi apakah tulisan itu bakal at least lolos 20 besar. Karena habis upload itu, aku langsung gas ngerjain refleksi UTS teologi moral yang dikumpul tanggal 5 April. Yang itu salah aku juga kenapa nggak ngerjain dari awal. Tapi, pembelaanku adalah, nulis itu nggak akan bagus kalo dipaksa. Harus diniatin bener-bener baru jalan. Pas awal, meniatkan diri untuk ngelarin yang buat lomba itu dulu, baru ngerjain refleksi. Padahal seharusnya college comes first.

Anyway, aku nggak ngasih tau siapa-siapa kalo akhirnya aku ikutan lomba ini. Di rumah cuma sempet bilang sama Mama kalo aku pengen ikut, tapi nggak cerita kalo akhirnya daftar dan ikutan wkwkwk. Pokoknya nggak pengen bilang siapa-siapa dulu. Rencananya sih mau cerita nanti kalo tiba-tiba masuk 20 besar wkwkw (ngga tahan mau ketawa pas nulis ini wkwkwkwkw). Tapi, ternyata aku nggak tahan nggak cerita wkwk. Berhubung cerita yang aku tulis itu ada hubungannya sama makul CALL yang aku ambil di semester 5, aku akhirnya kasih tau Ms. Mega, dosen CALLku. Ms. Mega orang pertama yang aku kasih tau kalo aku ikutan lomba kisah inspiratif.


The announcement was supposed to be on April 7. However, on April 7, instead of announcing the second stage of selection, the account share some statistics on how many participants on each category. From the statistics, I found out that there were 960 stories. Yep. Almost a thousand.

7 April juga jadi deadline ngumpul poster edukasi, yang aku juga ikut wkwk. Tapi kalo poster lebih ga berharap lagi sih. Pas di tanggal 7 itu, yang nyelenggarain lomba nya juga ngumumin timeline baru. pengumuman kisah inspiratifnya jadi tanggal 13. Just don’t think about it, okay Vin? Terutama ketika aku sadar sesuatu tentang surat pernyataan orisinalitasnya...

Jadi pas aku upload poster edukasinya di tanggal 7 (deadline), aku baru sadar ketentuan yang seharusnya aku ikuti juga pas upload file kisah inspiratifnya. Yang ketika aku cek benar adanya. Tertulis:


Sementara itu, file surat pernyataan orisinallitas yang Vina upload namanya...



 
WHAT HAVE I DONE?!

Okay. Fine. Don’t you dare to expect ANYTHING, Vin. It’s never gonna happen :)))))

Sungguh sebuah kebodohan yang aku baru sadar 3 hari setelahnya. Jadi aku bener-bener udah nyerah dan berpikir nggak mungkin lolos, namain file aja salah.

Walaupun nggak berharap lagi, tetep aja penasaran. Jadi, tanggal 13 itu aku tetep nonton pengumumannya di Live IG. And boy oh boy... this picture speaks more than it should.


Me and my whole body:

 
 

Oh my God

I was speechless, flabbergasted, wordless, astonished, overwhelmed, and excited at the same time. I was super ecstatic about the result :)))

 
Mungkin terdengar sangat berlebihan, tapi aku bener-bener kaget dan seneng buangetttt di waktu bersamaan. Seriusan ngga nyangka, ngga berharap sama sekali. Aku senyum lebar, dan senyum itu bener-bener tahan bahkan berhari-hari setelah hari itu wkwkwk.

Malemnya, sama panitia dibuatin grup peserta kisah inspiratif sama visual story telling. Jadi, 20 cerita terpilih itu akan divisualkan sama 20 finalis visual story telling. Aku dipasangkan sama Mas Febri dari ISI Surakarta. Dia yang akan buat visualnya ceritaku, dan hasil visual itu yang nanti akan dilombakan buat juara 1, 2, 3 visual story telling, best teamwork sama most popular. Dalam proses pembuatan visual story tellingnya, aku dan Mas Febri kontakan terus, karena dia ngga mau salah mengintepretasikan ceritaku. Ketika akhirnya jadi, dan foto itu diupload di akun nya SHC (yang ngadain lomba), kami berdua menyerahkan apapun hasilnya nanti sama Tuhan.

Di hari pas aku dapet pengumuman itu, aku masih ngga ngasih tau Mama atau Papa. Tapi besoknya, aku ngga tahan buat cerita, dan akhirnya berusaha ngasih tau mama sesederhana mungkin. Akhirnya, pas makan siang (yang terlalu sore), aku casually bilang, “Ma, inget tentang lomba SHC yang kemaren aku bilang pengen ikut? Aku jadi ikut, dan aku lolos 20 besar.” She was very surprised :))))) Pas itu juga aku sempet upload foto pengumumannya di status WhatsApp. Aku kasih tanda panah, tapi nggak ada 5 menit, aku hapus statusnya wkwkwkw.

***

Di hari pengumuman pemenang, aku nggak nonton live IGnya. Aku tunggu sampe live-nya selesai, trus baru nonton biar bisa dicepetin. Your girl got neither 1st, 2nd, 3rd position, best teamwork nor most popular. And she’s completely okay with the result. No dissapointment, no sadness.

I have always learned to put my efforts as high as I could, but my expectations as low as possible.



Sama kaya pas aku ikut DBL Journalist Competition di tahun 2016, dan lomba artikel reflektif setahun setelahnya. Aku percaya, setiap tulisan punya kekuatannya sendiri, setiap tulisan punya ceritanya sendiri. IMHO, tulisan itu, nggak bisa dipungkiri, adalah sesuatu yang subjektif. In general. Tahun 2016 di lomba jurnalis DBL, semua penulis harus submit 1 artikel final untuk dijurikan dan nantinya akan ditentukan siapa Best Writer dari semua tulisan itu. Dari awal ikutan TM lomba, aku udah punya ide dan konsep mau nulis apa untuk final. Aku lupa-lupa inget mulai nyicil wawancara dan research untuk tulisan itu apakah sebelum, atau pas DBL udah selesai. Tapi setelah aku submit tulisan itu, aku udah lupa aja. Pas ada undangan Journalist Camp, aku pertamanya ikut, tapi trus aku batalin kedatangan karena pikirku, “Nggak akan menang.” Pesimis banget akutu kalo soal lomba ginian wkwkwk.



Pas aku batalin undangan itu, aku tiba-tiba dichat sama salah satu panitianya. Intinya dibilang, ‘kamu dapet sesuatu lhoh, sayang kalo ngga dateng.’ Dan aku akhirnya dateng, menjemput predikat Best Writer DBL Journalist Competition 2016. Sedihnya, aku nggak pernah dapet file foto malam itu, pas aku pegang tulisan Best Writer spesifik di momen itu. Foto yang aku punya cuma dari scan-scan an koran Radar Jogja yang ada fotoku (Mah, Pah, anakmu masuk korann!), but I have no digital photo of me holding the poster “Best Writer” (ampun dah udah berapa kali nyebut Best Writer wkwk). Beberapa hari setelah Journalist Camp, aku inget banget tiba-tiba dichat sama panitia lainnya. Yang intinya diwawancara via chat wkwkwk.




(One time, I googled myself. I found that one spesific article about Journalist Camp 2016. And I also found one paragraph about me :))))))

Trus pas lomba artikel reflektif yang diadain yayasan. Aku bahkan nggak tau aku menang sampe semingguan setelah itu(?). Aku bahkan nggak tau pengumumannya kapan, tiba-tiba diucapin selamat sama beberapa guru :)))) Dapet juara harapan 1. Aku bahkan lupa aku nulis apa wkwkwk.

***

Ngomong-ngomong

Tanggal 1 Mei kemaren, aku terima email dari IPB. Isinya sertifikat, berita acara, sama LoA lombanya. Pas aku buka file berita acaranya, ternyata di situ ada laporan lengkap perolehan nilai dan peringkatnya. Aku screenshot pas di namaku, dan share di status WA.

 
“I just received the certificate, official reports, and LoA from SHC Competition. Knowing that I got the 11th place out of 960 participants blew my mind. I am beyond grateful for everything.”

Begitu tulisku di status whatsapp, yang kali ini nggak aku hapus dalam 5 menit wkwkwk.

Not gonna lie, this has been a very great achievement for me. Once again, I am very grateful for everything. I have said that repeatedly, because it really is the truth. Y’all might ask, what did you write, Vin?

Here is the short version of the story that I submitted. It is about a struggle. About how I freed myself from the illusion that I myself have created long ago. About how I finally appreciate my ability. About knowing what exactly I am capable of. 


Kalo temen-temen udah baca rekap 2019 ku sampe selesai (bisa dibaca di sini), di paragraf paling terakhir aku bilang gini:

“I used to hate Canva and even developed a love-hate relationship since it was so hard to use Canva, but I needed it to make things done. Thanks to Miss Mega’s CALL class, now I get used to Canva and even able to explore my ability. I made a lot of graphic images, and you actually can see it on my Google Sites. Click here to go to my page. That site was actually a project for my progress test 2 in CALL class. I made all the backgrounds by myself using Canva. Feel free to visit my Google Sites and let me know what you think of it :D”
 
Paragraf itu adalah bagian dari tulisan yang aku ikutsertakan di lomba kemaren. Aku cerita tentang perjuanganku yang dari TK, SD, SMP bener-bener nggak pernah bisa bikin tugas yang butuh jiwa seni. Itu semua berawal dari pas aku masih di play group. Ketika semua anak lain bisa mewarnai sebuah pesawat terbang dengan warna-warna yang berbeda, aku mewarnai pesawat itu cuma pake warna hitam. Pas masuk SD, tugas kesenian atau ketrampilanku payah semua. Pas di SMP juga sama, hasil melukis nggak ada yang bisa dibanggakan. Di SMA, kalo buat slide presentasi modal template doang.



Suatu hari di SMA, aku belajar tentang macem-macem pembelajar. Ada audio, visual, audio-visual, sama kinestetik. I found myself as a visual learner, which explains why I love using colors in my note. Well, here I am, a visual learner who cannot draw, and only relies on colors. Sebenernya aku suka liat tutorial gambar sederhana yang di explore IG, tapi nggak pernah berhasil ngikutin wkwkw. Gambarnya ada di otak, tapi tanganku nggak pernah berhasil merealisasikannya.

Tugas desainku? Kerjain apa adanya, yang penting aku udah berusaha. Gitu terus. Sampe semester 3. Di makul Critical Reading and Writing 1, aku dapet tugas untuk bikin booklet. Direkomendasiin buat pake Canva, dan itulah pertama kalinya aku tau Canva. Inget banget gimana perjuangannya ngerjain booklet itu sama Alvia sama Olga, di kos Olga sampe jam 11an malem wkwkwk. Aku bener-bener berharap nggak perlu lagi pake Canva. Seenggaknya aku nggak pake Canva lagi...untuk satu semester.

Di semester 5, aku ambil makul CALL. Dan di situlah pandanganku terhadap Canva mulai berubah. Karena Canva sendiri emang udah upgrade dari 1.0 jadi 2.0. User interface nya udah lebih modern, lebih gampang pakenya. Aku dapet proyek bikin reading module pake Canva. Mulai lah aku explore. Semuanya terjadi begitu saja. Poof! – sekarang semua-semua dibuat pake Canva.

Ini adalah perjalananku bebas dari ilusi ketidakmampuan yang sebenernya selama ini aku ciptakan sendiri di kepala. Ilusi kalo aku ngga bisa desain. Bukan nggak bisa, aku tapi aku nggak mengembangkan apa yang sebenarnya aku punya, nggak mau mengexplore kemampuanku.


“Canva menjadi jalan keluar bagi visual yang selama ini terjebak di kepala saya.

Momen di mana saya menyelesaikan modul bagian saya menggunakan Canva menjadi momen di mana saya menyadari bahwa saya baru saya bebas dari ilusi keterbatasan mendesain yang selama ini saya pikir ada dalam diri saya. Saya berhasil mematahkan kepercayaan ‘desain adalah kelemahan saya’ dan memiliki kepercayaan baru bahwa yang perlu saya lakukan sebenarnya adalah belajar. Kemampuan itu sebenarnya ada dalam diri saya, namun saya hanya tidak mau mengembangkannya dan membuka mata terhadap potensi dalam diri yang sebenarnya bisa saya lakukan. Potensi tersebut selama ini terbelenggu dan tersembunyi di balik ilusi ketikdakmampuan yang saya ciptakan sendiri pada hari saya memutuskan untuk menyerah soal hal desain.”



Itu bagian favorit dari cerita yang aku submit kemaren. Bagian yang bener-bener menjelaskan starting point versi baru seorang Vina, yang akhirnya menemukan potensi dirinya. Btw, aku pake ‘saya’ di ceritanya, dan menurutku itu aneh banget wkwk. Aku jarang nulis formal pake ‘saya’, dan kemaren pas baca ketentuannya ada bagian yang ‘ditulis dengan penggunaan PUEBI yang tepat,’ jadi aku langsung menyimpulkan kalo sebaiknya pake ‘saya.’ Nyatanya, penulis yang juara satu nulisnya pake ‘aku’ wkwkwk. Aku jujur nggak terlalu ‘srek’ sama cerita yang aku kumpul karena gaya bahasanya formal banget dan kaya bukan aku.

And that is how I joined a writing competition, the story I wrote, my hesitation, and my excitement for being 1/20 finalists.

***

“And I hate to make this all about me
But who am I supposed to talk to?
What am I supposed to do
If there's no you?

This won't go back to normal, if it ever was
It's been years of hoping, and I keep saying it because
'Cause I have to.” – Soon You’ll Get Better by Taylor Swift

Tadi kan udah cerita yang seneng-seneng. Sekarang pengen nulis serius dikit.

Banyak yang sedang terjadi di kepalaku akhir-akhir ini. Makanya aku nulis. Nulis selalu jadi hal yang bener-bener menenangkan kalo udah begini. Meskipun jarang posting di blog, aku sebenernya tetep nulis di buku pake bolpen sebelum tidur. Nggak setiap hari, pas aku bener-bener pengen cerita, tapi aku nggak punya siapa-siapa untuk cerita.

Aku mulai capek kelas online. Aku kangen banget interaksi langsung sama temen-temen dan dosen di kelas. Aku kangen naik motor tiap pagi ke kampus. Kangen lembur di perpus. Banyak sekali hal yang aku kangenin. Dan semua temen-temen juga pasti ngerasain yang sama. Aku inget banget sebelum karantina tanggal 16 Maret itu, aku sempet ke Galeria sama Frisca, beli kuncir rambut sama cerita-cerita. Trus habis dari Galeria, aku ke kos Alvia buat ngerjain proposal Play, sampe malem jam 9an. Inget banget, hari Kamisnya itu simulasi micro, dan aku nggak maju. Yang maju Frisca sama Alvia, dua orang yang kemarennya habis main sama aku wkwk. Karena nggak maju, aku harusnya maju hari Selasa. Ternyata, mulai Senin 16 Maret itu karantina. Aku berujung simulasi ngajar pake Zoom bareng Rere sama Irin.


Sekitar sebulan yang lalu apa ya, pokoknya pas deadline RPP UTS Micro Teaching (akhir Maret), aku tiba-tiba panik dan nggak tau harus apa. Aku menggambarkannya kaya panic attack, yang setelah aku Google ternyata juga bukan. Panik, tapi panik yang sampe nggak bisa ngomong apa-apa. Aku diem aja ngerjain RPP, ngejar deadline, tapi otak sebenernya udah teriak-teriak buat berhenti nggak karuan. Rame-rame bahas RPP Micro, dan aku belom selesai pas itu. Kepalaku kaya mau pecah rasanya. Di hari Jumat deadline RPP itu, malemnya aku pull an all-nighter ngerjain RPP sampe jam 3 pagi, dan bangun jam 8 pagi.

Setelah akhirnya aku selesai buat RPP dan ngumpul ke moodle 7 jam sebelum deadline, akhirnya aku agak mendingan. Aku masih nggak tau apa yang terjadi pas aku tiba-tiba panik itu, apakah efek sleep-deprived karena sepagian ngerjain RPP, atau ada faktor lain. Besoknya udah nggakpapa sama sekali.

Karantina ini bener-bener...melelahkan

Semua orang kehilangan aktivitas sehari-harinya. Semua serba online, nggak bisa interaksi secara langsung sama temen-temen. Aku bahkan nggak tau harus menggambarkan perasaan ini seperti apa. Sedih, kangen, gemes, marah(?), semua jadi satu. Karantina ini juga membalik pola hidupku. Jam tidur sama jam otak bekerja terbalik. Tidur jam 2 atau jam 3, bangun buat kelas jam 9, kadang sampe jam 11, habis itu nggak fungsi sampe jam 7 malem. Jam 7 malem sampe jam 2 pagi baru bisa produktif ngerjain semua hal. Dan akhirnya terkapar juga. Tulisan ini ketunda beberapa hari karena aku sempet sakit 2 hari.

Sedih kehilangan rutinitas, kangen sama temen-temen, gemes kapan ini semua akan selesai, dan..sedikit banyak marah sama pihak-pihak yang menyepelekan pandemi ini. Nggak physical distancing, nggak pake masker. Hufffftt.

Aku berharap pandemi ini bener-bener segera selesai, dan kehidupan semua orang bisa kembali normal. I miss my life before this pandemic hits.

***
 
The other thing bothering my mind is I recently have this feeling of not being good enough. It really bothers me. Although I just achieved something great, but this feeling crashed that just in a sec.
Pernah nemu kutipan ‘Social media is not toxic. Your lack of self control is’ di internet, dan aku setuju. Aku masih harus belajar soal self-control, dan nggak bisa bohong juga kalo aku sering secara otomatis bandingin diri aku sama semua hal yang orang-orang share di media sosial. Padahal aku pernah baca kalo ‘semua yang orang share di media sosial adalah sisi terbaik hidup mereka.’

Untuk saat ini, aku lagi deact IG. Tapi aku masih ngadmin di @dialoguemagz_usd. Bukan admin yang jago kaya apa, hari ini aja lupa bikin postingan tentang Hari Raya Waisak. Seharian terkapar di kasur, baru malem ini agak mendingan buat lanjutin tulisan. Padahal tugas statistics, video play, upcoming RMs quiz, dan video Micro menunggu untuk dikerjain, dan aku lebih memilih buat ngelanjutin tulisan ini. The guilty pleasure is real.

I don’t know, guys. Aku nggak tau harus apa sekarang. Something is waiting at the back of my brain, waiting for me to say it out loud. But I don’t even know how. I could really need a someone to talk to.


Cheers,

Vina Kanasya
7 Mei 2020
22.00





Comments