Dari UN sampai Urusan Perasaan

“Menyapa dan hilang
Terbit tenggelam, bagai pelangi
Yang indahnya hanya sesaat
‘Tuk ku lihat dia mewarnai hari.”

Sebenernya tulisan kali ini nggak ada hubungannya sih sama cuplikan lagunya HiVi! yang Pelangi. Cuma, tadi habis nonton videonya Lale Ilman Nino nyanyiin lagu ini, adem bener dah. Jadi, nulis potongan lirik itu emang karena suka aja. Tapi gak tau juga sih kalo ntar tulisan ini ada hubungannya sama yang ‘indahnya hanya sesaat’. Dan, judul di atas sebenernya karena emang udah nggak tau mau dikasih judul apa. Jadi, ngasih judulnya sesuai kata hati aja.


Lagi-lagi, aku tergerak untuk bikin tulisan di hari terakhir bulan ini. November akan datang beberapa jam lagi, tinggal sedikit sekali waktu mengenakan pakaian putih abu-abu. Ujian nasional pun selangkah lebih dekat. Siap? Ya kalo ditanya sekarang sih jawabannya belom. Fisika masih remed, biologi nggak dong, matematika semakin mengancam, kimia makin rumit. Heu. Gimana mau siap buat UN kalo materi kelas 10-11 aja masih belom sepenuhnya masuk ke otak?

Tapi dibanding UN, sebenernya lebih nggak siap buat ninggalin Stero dan semua kenangannya. Pasti mewek kalo inget bentar lagi bakal pisah, bakal melepas titel anak SMA. Cengeng ya? Biarin. Aku nggak mau munafik. Aku mau jujur aja, jujur sama diri sendiri, jujur tentang perasaan sendiri, jujur sama orang lain. Itu jauh lebih membahagiakan. Mungkin ‘gula’ di Stero nggak sebanding sama ‘kopi’nya. Tapi, kopi tetep lebih sehat ketimbang kebanyakan gula, kan? Itu aja sih filosofinya.

Sejujurnya emang belom pernah minum kopi yang beneran kopi. Paling buatnya yang latte-latte gitu. Dari “Filosofi Kopi”-nya Dewi Lestari sebenernya udah punya gambaran sepahit apa sih kopi itu. “Kita tidak bisa menyamakan kopi dengan air tebu. Sesempurna apa pun kopi yang kamu minum, kopi tetap kopi, punya sisi pahit yang tak mungkin kamu sembunyikan,” begitu tertulis dalam Filosofi Kopi.

Ya namanya kopi ya tetep kopi. Mau dikasih gula sebanyak apapun ya namanya tetep kopi, ga berubah jadi air tebu. Tetep punya sisi pahit yang harus dirasakan. Sama lah kaya hidup. Sisi pahitnya nggak akan pernah hilang. Cobaan, kehilangan, celaan, caci maki, cibiran, tangis, amarah, sampe kapanpun bakal terus ada.

Apa yang indahnya hanya sesaat selain pelangi? Hidup. Itu jawabanku. Hidup itu lucu, dia begitu indah, tapi keindahan itu hanya sesaat. Sekejap, lalu tiba-tiba menghilang tak berbekas. Bukankah hidup selalu seperti itu? Baru aja nih ngerasain kebahagiaan, tapi nggak lama setelah itu pasti ada hal-hal menyedihkan, misalnya perpisahan (kenapa balik bahas perpisahan lagi ya). Mungkin emang akhir-akhir ini lagi suka bahas perpisahan. Selain itu, lagi ngerasain suka dan benci di saat yang sama. Susah. Rumit. Melelahkan.

Sekarang lagi ngerasain apa, Vin?

Nggak tau juga sih perasaan ini namanya apaan. Campur aduk. Bahagianya ada, tapi sedihnya juga ga sedikit. Kangen, tapi gatau kangen sama siapa, kayaknya sih cuma kangen sama bayang-bayang aja. Sayang, tapi nggak tau sama siapa. Benci, nggak tau juga sama siapa dan kenapa. Kesel, banyak sih yang lagi bikin kesel akhir-akhir ini. Bosen, jenuh, capek, kerjaannya belajar mulu, japok, tugas rumah, presentasi. Rasanya pengen escape banget (kenapa pake escape? Karena kayaknya kata itu lebih sesuai dan enak dibaca ketimbang ‘melarikan diri’ atau ‘kabur’).

Selain yang udah disebutin di atas, nggak tau kenapa rasanya lagi takut. Takut banget. Nggak bisa dideskripsiin. Gimana ya, rasanya juga pengen banget nangis, tapi nggak bisa. Nggak ada alasan buat nangis, tapi pengen nangis. Tapi nggak ada air mata yang keluar. Cuma mungkin karena udah terlalu capek aja, jadi pengen nangis mulu bawaannya.

Trus maunya apa?

Lagi nggak pengen ngapa-ngapain, nggak pengen diganggu. Lagi bingung sama diriku sendiri., bingung sama perasaanku. Sekarang lagi pengen banget habisin waktu sendirian, di kamar, entah tidur entah nulis entah baca. Cuma mau melakukan apapun yang mau aku lakukan. Nggak mau baca rumus, nggak mau ngafalin apa-apa. Untuk saat ini, lagi mau tutup mata dan telinga dari semua kejadian di sekitarku. Nggak mau denger orang marah-marah, nggak mau denger orang ngeluh terus.

Tapi karena keadaan sekitar, aku justru melakukan sebaliknya. Pura-pura bahagia, keliatan baik-baik aja di luar, padahal di dalem udah hancur berkeping-keping. Menolong orang dengan senyuman, supaya yang mereka tau adalah aku baik-baik aja dan aku gapapa. Supaya mereka nggak perlu merasakan apa yang sedang aku rasakan. Topengku bekerja dengan sangat sempurna. Pura-pura baik-baik aja untuk orang lain, karena nggak akan bisa menjawab pertanyaan ‘kamu kenapa?’ dengan jujur. Pertanyaan itu ujung-ujungnya bakal dijawab dengan ‘aku gapapa kok’. Padahal udah pengen banget dipeluk, tanpa ditanyain kenapa.

***

Sedihnya, di saat kaya gini, di saat terlemahku, aku malah kehilangan. Ya, aku kehilangan tempatku berpijak, aku kehilangan tempatku berlindung dari semua kejahatan dan ketidakadilan di dunia. Seolah nggak ada lagi tempatku untuk pulang, nggak ada lagi tempatku mengadu.

Entah akan bertahan sampai kapan kondisi ini. Nggak biasanya fase bosan dan lelah ini datang begitu cepat. Biasanya, kalo udah nggak tahan lagi, semua ini akan berdampak sama fisikku. Pasti jadi lemah, pusing, ogah makan, dan maunya tidur terus. Dan biasanya bakal bertahan paling nggak seminggu, sampe aku menemukan kembali semangat dan senyuman sejatiku.

Semoga, sama kaya kebahagiaan yang indahnya hanya sesaat, kesedihan, amarah, rasa jenuh, dan rasa lelah ini juga hanya sesaat. Untuk kemudian dia pergi lagi, digantikan dengan rasa bahagia yang lain.

Dan semoga, cahaya pelangi yang sedang tertutupi oleh perasaan takut dan rasa-rasa negatif lainnya bisa segera bersinar kembali.


Cheers,

Vina Kanasya

Comments