Abjad Pertama Kamus Hatiku

Matahari amat terik dan langit bersih tak berawan. Kuliah baru saja selesai, dan aku langsung menuju perpustakaan kampus. Ini sudah menjadi kebiasaanku setiap hari Jumat. Selesai kuliah pukul 3 siang, aku akan segera pergi ke perpustakaan untuk menghabiskan sisa hari di sana.

Petugas perpustakaan sudah hafal dengan kebiasaanku. Ia memindai kartu tanda mahasiswaku, lantas memberikan kunci loker. Aku naik ke lantai 4 gedung perpustakaan, satu-satunya lantai yang memiliki balkon dan sebuah bangku panjang. Bangku panjang itu adalah tempat favoritku. Aku datang hanya dengan membawa novel, buku catatan, dan alat tulis. Lantas aku akan menikmati semilir angin sepanjang sisa hari. Kala senja tiba, tempat itu akan tambah spesial bagiku. Sebab, seorang laki-laki akan datang, duduk di sebelahku, dan kita akan menikmati senja bersama.



Ia adalah seseorang yang sangat istimewa. Aku jarang bertemu dengannya karena jurusan kami berbeda. Aku mengambil jurusan Pendidikan Bahasa Inggris, dan ia mengambil jurusan Farmasi. Ia telah memasuki tahun ketiganya, sementara aku masuk tahun kedua. Ia adalah orang di balik senyumku; ia adalah bahan bakar semangatku setiap hari; ia adalah muara dari semua perasaan terpendamku; ia adalah nyawa dari puisi-puisi yang aku buat; ia adalah tokoh utama dalam setiap dongengku; ia adalah penghuni relung hatiku.

Ia adalah orang nomor satu bagiku. Seperti namanya yang merupakan abjad pertama dalam huruf Yunani. Alfa.

***

“Nungguin siapa sih di situ, Al?”

Aku menoleh ke sumber suara yang amat ku kenal, kemudian tersenyum. Alfa mendekat ke tempatku berdiri, dan ikut menyandarkan tubuhnya di tembok pembatas balkon. Lima belas menit berikutnya hanya diisii kesunyian. Tapi, kunikmati sunyi itu, kugenggam erat setiap tetesan waktu yang berlalu.

“Gimana kuliahnya hari ini?”

“Biasa, tugas, kuis, proyek, presentasi.” Itu adalah pertanyaan yang selalu ia ajukan setiap kali bertemu denganku. Aku tak pernah bosan dengan pertanyaan itu, seperti ia yang juga tak pernah bosan menanyakan hal itu padaku. Jam analog di pergelangan tangan kiriku menunjukkan pukul setengah lima. Sebentar lagi, langit akan berubah menjadi jingga, dan menghipnotis siapa saja yang melihatnya.

Balkon lantai 4 gedung perpustakaan kampusku adalah tempat yang sempurna untuk menikmati senja dan melihat seluruh kota. Jika balkon itu adalah tempat yang sempurna, maka sosok jangkung yang berjarak satu jengkal dariku adalah tempat hatiku berlabuh secara sempurna.

Langit biru mulai berganti menjadi jingga. Awan-awan tampak keemasan. Matahari bersiap tenggelam di ufuk barat. Senja dan kehadiran orang yang aku sayangi menutup hari Jumat dengan sempurna.

***

Musim kemarau telah usai dan musim hujan dimulai. Senja menjadi hal langka, karena hampir setiap sore hujan turun. Tak mengapa, aku dan Alfa juga sama-sama menyukai hujan. Karena menurut kami, hujan selalu punya cerita.

Sore ini hujan kembali turun mengguyur kota. Aku sempat kehujanan saat berjalan menuju perpustakaan, menciptakan rasa dingin yang menusuk tulang. Aku telah bersiap akan menunggu Alfa dalam keadaan menggigil. Tapi, tidak seperti biasanya, hari ini Alfa tiba lebih dulu di balkon lantai 4 perpustakaan kampus.

“Tumben sampe duluan?”

“Dosenku cuti hari ini, kelasnya diganti besok. Jadi kali ini kamu nggak perlu nungguin aku.” Aku hanya tersenyum mendengar penjelasan Alfa yang lebih dari cukup. Aku berjalan mendekati Alfa, ikut berdiri menyandarkan diri di tembok.

“Kehujanan?” tanya Alfa.

“Iya, nanti juga—”

“Kamu alergi dingin, Al, nanti bisa kambuh.” Alfa tiba-tiba menyampirkan jaket hitamnya di bahuku.

“Makasih, Fa.” Alfa tersenyum. Senyum yang amat manis, senyum yang ingin aku simpan selamanya.

Hujan masih terus turun dengan derasnya. Meski hawa dingin terasa amat menusuk, tetapi hatiku diselimuti perasaan hangat yang luar biasa. Bukan jaket Alfa yang memberiku kehangatan, tapi kehadirannya yang menghangatkan jiwa dan mendamaikan hati. Aku menatap sosok jangkung di sebelahku. Betapa aku menyayanginya. Pada awalnya, ia memang menghadirkan figur seorang sahabat sekaligus kakak laki-laki bagiku. Namun, akhirnya kusadari bahwa ia telah membuatku jatuh hati. Aku menyayanginya lebih dari seorang sahabat, lebih dari seorang kakak.

Seolah tahu bahwa rasa sayangku pada Alfa tak akan pernah berbalas, aku menuangkan segala kegundahan, kerinduan, dan perasaanku padanya dalam bentuk tulisan. Kutulis puisi, cerita, narasi, apapun tentangnya, lalu menyimpan semua itu untuk diriku sendiri. Alfa barangkali tak akan pernah tahu, bahwa ada seorang perempuan, dengan segala perasaan untuknya, tengah menanti dengan penuh harap. Bahkan perempuan itu kini hanya berjarak satu jengkal darinya.

Sudah hampir satu jam aku dan Alfa bersandar di tembok itu, menatap hujan yang tak kunjung reda. Hujan memang selalu berhasil menyimpan banyak hal. Ia adalah penyimpan rahasia yang handal. Percayakanlah semua rahasiamu padanya, maka ia tak akan membocorkannya pada orang lain walau satu kata. Hanya hujan dan dirimu sendiri yang mengetahui rahasia itu.

***

Pagi ini aku amat panik ketika kusadari bahwa buku catatan yang berisi tulisan-tulisanku tertinggal di bangku panjang perpustakaan. Kemarin malam aku memang pamit pulang lebih dulu dari Alfa. Aku turun tanpa memeriksa barang bawaanku. Aku yakin sekali bahwa buku itu tertinggal. Kuraih smartphone yang ada di atas meja, dan sesegera mungkin aku menelpon Alfa.

“Halo?” terdengar suara Alfa yang masih serak.

“Alfa, kamu liat buku catetanku?”

Di ruang lainnya, Alfa terlempar pada kejadian yang baru ia alami tadi malam. Ia menemukan sebuah buku catatan di bangku panjang.

“Alfa?”

“Eh?! Iya Al?”

“Kamu liat buku catetanku?”

“Ada sama aku, semalem ketinggalan.”

“Besok senin, bisa ketemu di depan perpustakaan?”

“Bisa banget.”

“Makasih ya.”

“Iya Al.”

Telepon ditutup. Aku teramat panik, bagaimana kalau Alfa membaca tulisan-tulisan itu? Tulisan tentangnya yang aku buat untuk menumpahkan perasaanku? Aku takut, apabila ia mengetahui perasaanku padanya, ia akan menjauh dariku, menjaga jarak, dan kita tidak akan pernah lagi menghabiskan waktu di lantai 4 perpustakaan kampus. Aku berusaha menenangkan diri, tidak, Alfa tidak akan membuka buku yang bukan miliknya.

***

Senin pagi di depan perpustakaan. Aku berdiri dengan sebuah paper bag di tangan yang berisikan jaket Alfa. Berniat untuk mengembalikannya. Aku menanti dengan sabar kehadiran sosok jangkung itu.

“Nungguin siapa sih disitu, Al?”

Aku segera menoleh, dan mendapati Alfa sedang berjalan ke arahku. Seperti biasa, aku hanya bisa tersenyum.

“Nih bukunya. Besok lagi jangan ceroboh, Al.”

“Makasih. Oiya, ini jaketmu, Fa. Makasih ya.”

“Sama-sama. Aku duluan ya, ada kuliah jam 8 pagi.”

“Sampe ketemu besok Jumat.”

Alfa hanya diam, ia tidak tersenyum, tidak juga mengangguk. Ia langsung meninggalkan aku dalam bisu di depan perpustakaan.

***

Jumat ini aneh. Sudah hampir pukul 7 malam, dan Alfa masih belum terlihat batang hidungnya. Ia juga tidak mengirimkan pesan apapun kepadaku. Mungkin dia sibuk, batinku. Aku meninggalkan balkon dengan perasaan kecewa. Untuk kali pertama, hari Jumatku berakhir menyakitkan.

***

Tak hanya sekali Alfa absen. Dua minggu setelah ia meminjamkan jaketnya, ia masih tidak datang. Tiga minggu. Empat minggu. Satu bulan. Sudah 5 kali ia tidak datang ke balkon lantai 4 perpustaakaan kampus. Dan aku masih setia menunggunya. Abjad pertama dalam kamus hatiku.

***

Sudah hampir 4 bulan setelah Alfa meminjamkan jaketnya, dan aku masih belum bertemu dengan dirinya. Ini sungguh suatu kejanggalan yang luar biasa. Maka sore itu, kuputuskan akan menunggunya untuk kali terakhir. Jika sore itu ia tidak datang, dapat kusimpulkan bahwa kebiasaan kita telah berakhir.

Aku duduk di bangku panjang, menatap langit dengan tatapan kosong. Aku belum siap kehilangan Alfa. Aku belum siap kehilangan pengisi relung hatiku. Aku menyumpah diriku yang dengan ceroboh meninggalkan buku catatan itu. Mungkin Alfa telah membacanya, dan ia tahu yang sebenarnya. Sehingga ia merasa tak nyaman berada di dekatku.

***

Hujan masih terus turun. Ini sudah hampir jam 7 malam, aku putuskan akan menunggunya sampai jam 8. Hawa dingin menyerang, aku terus merapatkan jaket untuk menghalau rasa dingin.

Pukul 8 kurang 5 menit. Aku tak tahan lagi. Sebutir air jatuh mengalir di pipi. Aku masih menatap kosong langit hitam di depanku. Detik itu aku tahu, bahwa aku telah kehilangan.

“Nungguin siapa sih di situ, Al?” Sebuah suara mengagetkanku. Nggak mungkin, batinku. Aku menoleh ke kiri. Kudapati sosok jangkung yang selama ini kunanti. Alfa berjalan mendekat ke arahku. Ia hanya berjarak satu jengkal dariku. Aku berusaha mati-matian menahan agar tangisku tidak pecah di depannya.

Alfa meraih kedua lenganku, memutarku sehingga kini aku berdiri di hadapannya. Satu tangannya menghapus air mata yang terus meleleh dari pelupuk mataku.

“Kamu jelek banget kalo lagi nangis.” Aku tidak menjawab. Tangisku justru semakin menjadi. Alfa tidak mengatakan apapun kepadaku, ia membiarkan aku menangis sepuasnya.

Saat tangisku mulai mereda, aku mulai berani menatap laki-laki yang amat aku sayangi itu. Aku menatap matanya, dan ia juga menatap mataku. Tatapan matanya begitu teduh, seolah mengatakan ‘semua baik-baik saja’.

“Aku tahu semuanya.” Aku terdiam. Hal yang paling aku takutkan justru terjadi. Kini, aku sudah siap untuk kehilangan. Biarlah aku kehilangan karena telah mengetahui yang sebenarnya, daripada aku memiliki dalam dusta.

Betapa terkejutnya aku, pada menit berikutnya, aku sudah berada dalam dekapan orang yang amat kusayangi. Aku menangis dalam pelukannya.

“Aku tahu semuanya, Al. Aku tahu. Aku tahu semua perasaanmu, perasaan untukku yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, karena kamu nggak pernah berani bilang sama aku.”

“Kamu...kamu seharusnya nggak tau, Alfa.”

“Kecerobohanmu 4 bulan yang lalu yang bikin aku tahu, Al. Mungkin emang udah saatnya kamu juga tahu perasaanku ke kamu.” Alfa melepas pelukannya, ia menatap mataku.

“Al, aku juga sayang banget sama kamu. Mungkin dulu kamu memang hadir sebagai seorang sahabat yang luar biasa, tapi seiring berjalannya waktu, ada perasaan lain yang terus tumbuh, Al.”

“Aku sayang kamu,” lanjut Alfa.

“Kalo kamu sayang aku, kamu kemana aja 4 bulan ini? Kenapa kamu ninggalin aku dalam tanda tanya besar di tempat ini?”

“Karena aku nggak siap kalo harus ketemu kamu. Setelah tau kebenarannya. Aku nggak akan sama seperti Alfa yang dulu belom tau kalo kamu ada rasa sama aku. Aku akan bertindak beda, dan aku nggak mau kamu pergi karena itu. Jadi, aku putusin untuk menghilang dari hidup kamu, selama 4 bulan itu.”

Aku kembali tenggelam dalam tangis di pelukan Alfa.

“Would you be mine?” tanya Alfa tiba-tiba.

Tak ada jawaban dari mulutku. Aku hanya memeluknya lebih erat. Tak mau kehilangan.

Dalam ingatanku, hari Jumat tidak pernah seindah itu.

***

Vina Kanasya

Comments