Satu Paket Kerinduan dengan Cinta
English Action
Days 2016. Entah kenapa, ajang perlombaan itu masih membekas dalam ingatan dan
hatiku. Meski udah hampir 5 bulan berlalu, tapi memorinya masih begitu jelas seperti
sebuah film yang terus terputar. Bagiku, EAD bukan cuma perlombaan, tapi ia
juga sebuah cerita. EAD menyimpan banyak cerita dan kenangan, nggak cuma pas pelaksanaannya,
tapi juga selama persiapannya.
Aku kenal lomba
ini pas masih kelas sepuluh. Penawaran dari Miss Atik pas adalah gerbang yang
membawaku ke petualangan berikutnya. Beliau menawariku untuk ikut lomba writing
dan aku mengiyakan tawaran itu.
Nggak cuma
writing, tapi sekolah juga ngirim wakil untuk lomba speech, story telling, sama
drama. Kelompok drama diwakili oleh 10 orang. Speech diikuti oleh kak Karin,
dan story telling diikuti oleh kak Vinda.
Pas technical
meeting di kampus, perasaanku campur
aduk. Rasanya kaya ‘pulang’ ke rumah. Aku berangkat bareng kak Karin pake mobil
sekolah. Aku dianterin seorang panitia ke ruang TM writing. Aku kenal ruangan
itu, ruangan yang ada di sebelah ruang dosen PBI.
Memoriku kembali
ke tahun 2007an. Pas itu, aku yang masih pake seragam kotak-kotak biru iseng
lari-lari di sekitar ruangan itu buat narik perhatian Mama yang lagi ngajar. Waktu
itu, ruang dosen belum di sebelah ruang K12. Ruang dosen waktu itu adalah
meeting room PBI yang sekarang. Kejadian itu bikin geli, sekaligus memalukan
kalau diinget sekarang.
Di ruangan itu cuma
ada kurang lebih 8-12 anak. Sekitar jam setengah 9, TM dimulai. Setelah
berbagai jenis penjelasan mengenai teknis lomba, TM dilanjutkan dengan jalan-jalan
keliling kampus. Sekitar 10 menit habis jalan-jalan, kami dikasih tau kalo kami
udah boleh pulang. Karena aku masih nunggu kak Keke, kak Retha, kak Vinda, dan
kak Karin, aku cuma berdiri di deket meja registrasi. Di situ, aku ngobrol
dengan salah seorang panitia yang ternyata merupakan alumni Stero.
“Where do you
come from?” tanyanya
“Stero.”
“Oh, I came from
Stero too,” jawabnya.
Aku cuma senyum
karena nggak tau harus jawab apa.
“What’s your
name?”
“Vina.”
“Sari.”
Ya, orang itu
adalah kak Sari yang sekarang aku kenal. Yang namanya kerap tercantum dalam
beberapa tulisanku.
“Does Babe still
teach in Stero?” (aku lupa seperti apa tepatnya pertanyaan kak Sari, tapi
intinya kak Sari tanya tentang Babe.)
“Yes. He is
my....wali kelas.” (Jujur sampe hari ini aku belom tau bahasa inggrisnya wali
kelas apaan.)
Seorang mahasiswi
yang juga panitia lewat di depan kami.
“Itu mantan Duta
Stero,” ujar kak Sari.
Percakapan itu
harus terhenti karena aku ngeliat kak Karin, kak Keke, dan kak Retha nggak jauh
dari tempatku berdiri.
“I think I have
to go there. To meet my seniors.” (Kalau nggak salah aku bilang kaya gitu.)
“Okay, see you
next week!” balas kak Sari.
Aku pergi dari
depan ruang K12. TM selesai sekitar jam setengah 10. Harusnya, kami balik ke
sekolah. Tetapi karena alasan yang ‘anak sekolah’ banget, kami malah ke hall, nonton
lomba baca puisi. Di situ ada Bu Evi, kak Vinda, kak Nisyma, dan kak Thia. Aku,
kak Retha, kak Keke, dan kak Karin ikut duduk di situ. Males balik ke sekolah.
Aku nggak nyangka,
aku masih inget kejadian hari itu dengan lumayan baik. Meski banyak rincian
yang terlewat. 16 Mei 2015. Seminggu sebelum pelaksanaan English Action Days
2015.
***
November 2015. Tujuh bulan setelah EAD 2015.
Mama udah balik
dari studinya, dan beliau ngajak aku nonton play
performace di Lembaga Indonesia Perancis tanggal 28 November 2015. Di situ,
aku ketemu lagi sama kak Sari. Sebenarnya nggak bisa dibilang ketemu juga sih,
karena kami cuma saling tatap dan senyum satu sama lain. Lewat kejadian sore
itu akhirnya aku bisa menjalin relasi sama kak Sari.
Kejadian tanggal 28
November itu juga jadi salah satu hal yang masih aku inget dengan baik
sekarang. Tetes hujan yang meluncur turun hari itu menjadi penutup yang manis.
***
April 2016. Sebelas bulan setelah EAD 2015. Satu
bulan sebelum EAD 2016.
“Kepada nama-nama yang akan disebutkan, sepulang
sekolah nanti harap bertemu dengan Bapak Arko dan Ibu Atik di pendopo....
Regina Widjaja XC, Venerini Ranum XD, Josephinne Krisdiva XE, Monica Andara XI
IPS 1, Alysha Gahara XI IPS 1, Brigitta Margo XI IPS 2, Dorothea Bunga Chininta
XI IPS 2, Priscilla Victory Langouran XI IPS 2, Alfonsa Vina Kanasya XI IPA 1, Clara
Yuniosensia XI IPA 1, Satya Meylisa Mada XI IPA 1, Laura Maulibasa Pasaribu XI
IPA 2, dan Monica Maharani Sitompul XI IPA 2. Harap sepulang sekolah berkumpul
di pendopo untuk menemui Bapak Arko dan Ibu Atik.”
Sayup-sayup
terdengar suara pengumuman di tengah ributnya kelasku waktu itu. Aku tiba-tiba
inget sama percakapanku sama Miss Atik sekitar 50 menit sebelum bel pulang
sekolah di kelas. Kami membahas perihal lomba English Action Days 2016 yang
akan berlangsung pada awal Mei. Aku pernah bilang sama Miss Atik, ‘Kalo ada EAD
lagi, aku pengen ikut drama, Ma’am’. Miss Atik nanya sama aku, apa aku mau ikut
lomba lain selain drama, karena kayaknya Mister Arko nggak akan mempersiapkan
tim drama untuk EAD tahun itu.
Tapi siang itu,
tiga belas anak dikumpulin untuk persiapan English Action Days 2016. Pengumuman
siang tanggal 11 April 2016 itu menjadi awal dari sebuah petualangan
berikutnya. Dua orang untuk lomba speech, satu orang untuk lomba story telling,
satu orang untuk lomba writing, dan sembilan orang untuk lomba drama. Aku
menjadi satu dari sembilan orang itu.
“Dari sembilan
orang ini, adakah yang keberatan? Karena drama adalah komitmen,” tanya Mister
Arko saat hanya ada kami bersembilan.
Salah seorang
dari kami mengangkat tangannya. Satya. Dia bilang kalo dia harus bersiap untuk
female cup. Itu artinya, kami butuh pengganti Satya.
“Kalian yang ada
di sini adalah pemain. Saya masih butuh satu orang untuk mengisi posisi music
diretor. Saya tidak bisa memanggil music director, karena Saya tidak tahu teman
yang punya kemampuan itu.”
“Juma, Sir. Julia
Marta,” terdengar beberapa teman menyebut nama Juma saat itu.
“Okay, nanti coba
dihubungi ya. Kalo untuk mobilitas?”
“Juma naik motor
kok, Sir.”
“Oke. Kalo
begitu, kita ketemu lagi...besok Selasa jam 3? Kita brainstorming untuk jalan
ceritanya.”
“Siap, Sir,”
jawab kami hampir bebarengan.
Siang itu, aku tau
bahwa petualangan akan segera dimulai.
***
Selasa, 12 April 2016. Lab Bahasa Stero.
Aku baru aja
selesai ngerjain remed matematika, dan aku cepet-cepet ke lab bahasa. Udah ada sekitar
9 pasang sepatu di rak depan lab. Menjadi sepuluh pas aku ikut meletakkan
sepatuku di rak tersebut.
“Permisi...” aku
mengetuk pintu lab sambil membukanya.
“Silahkan masuk,”
jawab Mister Arko.
Aku masuk.
“Maaf telat,
Mister.”
“Nggak apa-apa,
kita baru akan mulai. Oiya, ini jadwal latihannya.”
Mister Arko ngasih
selembar kertas yang diprint landscape,
berisi jadwal latihan drama. Ada pemandangan berbeda pas aku masuk ke lab bahasa.
Salah seorang teman sekelasku ikut duduk di situ, jadi penggantinya Satya. Dia
adalah Efma. Di situ duduk pula Juma, music director. Nggak perlu waktu lama
untuk menyesuaikan diri dalam lingkaran itu. Kami segera sibuk membahas jalan
cerita yang akan dibawakan pas lomba nanti. Tetapi brainstorming sore itu berakhir buntu, karena jalan cerita yang kami
bahas malah berbelok jauh dari tema “Indonesia, I Do Care!”.
“Tidak apa-apa.
Ini hal biasa. Besok kita brainstorming
lagi. Semoga segera ketemu jalan cerita yang tepat.”
***
Rabu, 13 April 2016. Lab bahasa Stero.
Brainstorming kedua. Setelah melewati proses diskusi yang alot,
akhirnya kami menemukan jalan cerita yang pas. Tapi, ada hal yang beda sore
itu. Satya memutuskan untuk kembali bergabung. Melengkapi tim drama yang akan
maju untuk EAD 2016. Kami tampil bersebelas, tetapi bukan di lapangan hijau,
melainkan di panggung pertunjukkan.
***
Hari-hari
berikutnya disibukkan dengan latihan drama. Empat kali seminggu, setiap hari
Senin, Rabu, Jumat, dan Sabtu. Meski latihan sempat terkendala kondisi fisik
Regin yang waktu itu lagi drop, tapi
hal itu nggak menyurutkan semangat kami. Setelah beberapa kali cuma latihan
baca, akhirnya kami latihan pake properti. Ngangkat sendiri semua kursi dan
meja. Bahkan kami juga minjem sepaket meja kursi tamu yang biasa ‘nangkring’ di
depan ruang tamu. “Anak-anak pengen yang nggak biasa,” kalo kata Mister Arko.
Delapan belas.
Dua puluh. Dua puluh dua. Dua puluh tiga. Dua puluh lima. Dua puluh tujuh. Dua
puluh sembilan. Itulah tanggal-tanggal latihan kami selama bulan April. Salah
satu yang paling berkesan bagiku adalah tanggal 29 April 2016. Hari itu, kami
pulang awal. Setengah sembilan pagi. Kabar baik bagi kami, karena itu artinya
waktu istirahat sekaligus latihan kami bertambah.
Sebenarnya, aku sama
kak Sari udah menyusun rencana untuk menghadirkan kak Ipo. Mister Arko sama Bu
Tuti juga udah memberi lampu hijau. Dan tanggal 29 April 2016 adalah tanggal
mainnya.
Kami latihan dari
jam 10 pagi, dan jam 12 kami diberi waktu untuk makan siang. Kami pake layanan
ojek berbasis aplikasi berwarna hijau itu untuk pesan antar ayam geprek.
Makanan yang baru dateng sekitar 1 jam kemudian itu disambut dengan semangat.
Kami bersebelas bikin lingkaran dan makan ayam geprek bareng.
Sejujurnya, bukannya
semangat, tapi kita malah ngantuk banget habis makan. Latihan baru dimulai sekitar
jam 2 siang. Sekitar jam empat kurang lima belas menit, ada sebuah notifikasi
yang masuk.
“Udah di luar ni diks, tapi nunggu Ipo.”
Aku minta ijin sama Mister Arko untuk keluar, nemuin kak
Sari. Aku ngajak kak Sari untuk masuk ke dalem, ikut duduk di pendopo. Kak
Sari, yang (katanya) nggak pernah lagi kepikiran untuk mampir di Stero,
akhirnya mampir lagi ke Stero setelah kenalan sama aku. Kak Sari duduk di
tempat kami bersebelas naro tas. Mungkin sampe sekitar satu setengah jam
berikutnya.
Saat Mister Arko memutuskan untuk memberi kami waktu
istirahat sejenak, seorang perempuan dengan pakaian serba hitam masuk ke
halaman sekolah dengan motornya. Itulah kak Ipo, ‘bintang tamu’ yang aku
hadirkan di tengah persiapan drama kami, untuk berbagi pengalamannya dalam mata
kuliah play performance. Dialah orang
yang sama yang aku tonton penampilannya di Lembaga Indonesia Perancis, lima
bulan sebelumnya.
Itulah hal yang istimewa pada latihan tanggal 29 April
2016. Latihan hari itu juga merupakan latihan terpanjang yang pernah dilakukan.
Dari jam 10 pagi, sampai sekitar jam setengah 6 sore. Tak ada lagi yang tersisa
di sekolah selain Pak Yanto yang masih berjaga di sekolah. Inilah yang terjadi
selama kami latihan. Sekolah yang sepi dan gelap, Pak Yanto yang duduk santai
di lobby, suara adzan maghrib, hawa dingin yang menyerang, langit sore yang udah
jadi biru tua, serta bulan yang menggantung di langit adalah saksi bisu latihan
kami.
***
30 April 2016.
Universitas Sanata Dharma.
Aku pergi ke kampus untuk technical meeting. Setahun yang
lalu aku dateng sebagai peserta lomba writing, tetapi hari itu aku dateng
sebagai peserta lomba drama. De javu banget rasanya pas naik tangga lobby depan
Universitas Sanata Dharma. Setahun yang lalu, aku datang di kampus dengan
sejuta keraguan. Hari itu, aku datang membawa keyakinan penuh.
Tapi keyakinan itu runtuh seketika pas tau kalo batas waktu
maksimal lomba drama bukan 15 menit, tapi 10 menit. Pas latihan rundown yang pertama dulu, drama kami
berdurasi hampir 25 menit. Itu artinya, bakal ada banyak banget dialog dan
scene yang harus dihapus. Ukuran panggung yang tertera pada regulasi juga
berubah jauh. Dari yang harusnya 7 x 3 meter, malah jadi 2.89 x 1.17 meter. Aku
ragu sih sama ukuran itu. Bahkan panggung itu nggak cukup buat monolog.
Siang habis TM, aku dihubungi sama panitia drama yang juga
alumni Stero bernama Ria. Kak Ria mengatakan kalo dia salah ngasihtau. Ukuran
panggung yang bener adalah 7 x 2 meter, dengan ekstra 1 x 7 meter yang
optional. Sedikit banyak berita itu bikin kami lega. Tapi yang diralat cuma ukuran
panggung. Waktunya nggak. Masih sepuluh menit.
***
Suka nggak suka, mau nggak mau, itul keputusan dewan
juri. Maksimal sepuluh menit. Kami harus muter otak, kerja keras buat motong
dramanya. Jumlah scene yang tadinya
ada 6, dijadiin 3 scene. Dialog
dipotong dan adegan-adegan diilangin buat mempersingkat waktu. Latihan yang
biasa selesai jam 5, geser jadi jam 6.
Sampe pas latihan terakhir di Asrama Trenggono, total
durasi drama kami adalah 11 menit 30 detik.
“Saya tidak berani maju dengan 11 menit. Saya tidak mau
mengorbankan waktu lagi.”
Kami semua diem.
“Tapi kalo kalian semua yakin, kita maju dengan 11 menit.
Karena udah gak bisa diapa-apain.”
“Kita harus yakin, Sir.”
“Oke kalo emang yakin. Kita bungkus, 11 menit.”
“Kalian yakin?”
“YAKIN SIR!”
“Kalo kalian juara 1, saya traktir kalian Preksu.”
“Beneran Sir?”
“Iya.”
“YEAYYY!!!”
Teriakan kami bergema di aula asrama.
“Kita tutup dengan doa.”
Hening. Sunyi. Semua ada dalam suasana doa. Selesai doa,
kami minta tolong sama kak Hafa buat motret kami. Selama berdinamika, nggak pernah
sekalipun kami foto bareng. Habis foto, kami menyatukan tangan dan berteriak:
“DON’T LOSE FAITH AND HOPE, BUNGA!”
***
7 Mei 2016
pagi. Asrama Trenggono.
“Bunga ke mana nih?”
Semua nyariin pemeran utamanya. Udah jam 7 pagi, tapi
Bunga belum juga dateng. Akhirnya, kami putusin buat doa dulu di depan sekolah.
Keberangkatan kami disaksikan Bu Tuti, Pak Him, Mister Arko, Mas Kus, Miss
Atik, dan beberapa guru lain. Habis doa, Bunga dateng. Kekuatan doa, batinku. Rani, yang ikut lomba speech ikut berangkat bareng
kami.
***
7 Mei 2016.
Auditorium Driyarkara – Universitas Sanata Dharma.
Atmosfer auditorium dan kebersamaan kami hari itu nggak
akan aku lupain. Mulai dari upacara pembukaan di auditorium, sampe waktu kami masuk
ke ruang K02. Semuanya masih terekam jelas di otakku.
Ada satu momen yang membahagiakan saat MC drama membuka
lomba pagi itu.
“We will give you extra one minute for your performance.”
Kami bersorak bahagia, dan langsung ngasih tau Mister
Arko tentang kabar itu.
Penampilan pertama, kedua, ketiga, keempat, dan kelima.
Tiga urutan terakhir bakal tampil habis makan siang. Kami yang tadinya ada
diurutan ke-8 maju jadi urutan ke-7. Gapapa. Dalam Bahasa Jawa, ‘pitu’ artinya
pitulungan atau pertolongan. Semoga berkah.
Singkat cerita, habis makan siang, kami jalan ke
auditorium buat ngikutin acara berikutnya, dan baru balik lagi ke kampus
sekitar jam 2 siang. Pas balik ke basecamp
drama, adrenalinku memuncak. Kami ganti baju, dan naro properti meja-kursi tamu
(pinjem dari sekolah) ke deket ruang K02, dan pas sudah dibolehin, baru ditaro
di panggung.
Tepat sebelum tampil, kami bikin lingkaran dan berdoa.
Sekali lagi meneriakkan apa yang menjadi judul drama kami. Inilah saatnya.
Semua properti dan kostum udah kami siapin. Dialog udah di luar kepala, dan
apa-apa saja yang harus dilakukan udah tertanam di otak dan hati.
“And please welcome, SMA Stella Duce 2 Yogyakarta!”
***
Sebelas menit paling cepet dalam hidupku. Semua kaya
kedipan mata. Masih inget banget gimana penonton yang ketawa pas adegan lucu,
atau penonton yang terdiam pas adegan sedih, atau melongo pas adegan indescribable. Dan yang paling membekas
dalam ingatan adalah, pas penonton dan para juri tepuk tangan habis penampilan
kami. Itu adalah salah satu saat paling membahagiakan dalam hidupku.
Habis tampil, kami bikin lingkaran lagi, doa, dan teriak.
Pas seluruh rangkaian acara selesai, kami minta tolong temen buat memotret kami
di panggung itu. Panggung yang udah kami perjuangkan selama 3 minggu. Panggung
yang baru aja kami taklukkan. Tapi semuanya belum selesai. Masih ada pengumuman
pemenang. Dan kami siap.
***
8 Mei 2016. Auditorium Driyarkara Universitas Sanata
Dharma.
Nggakpenting lagi apa yang terjadi sebelum pengumuman.
Yang terpenting adalah pengumuman pemenang lomba. Tim Drama kami, yang kami
sebut Tim Preksu berkumpul full-team.
Bersama Rani, Jusi, Ranum, dan ada Thea sama Chacha yang ikut dateng. Kami
duduk memenuhi hampir 2 baris kursi dalam auditorium.
“The third place writing competition is belong to...”
“Josephinne Krisdiva from SMA Stella Duce 2 Yogyakarta!”
“WOHOOOOO JUSIIII!!!!” teriakkan kami menggema.
Pengumuman yang paling ditunggu tiba. Pengumuman lomba
drama.
“The third place drama competition is belong to...”
“SMA Stella Duce 1 Yogyakarta!”
“The second place drama competition is belong to...”
“SMA Stella Duce 2 Yogyakarta!”
“KITA MENANG GIRLSS!!!!!!!!!”
“Kasih tau Mister Arko!!”
“The first place drama competition is belong to...”
“SMA Tarakanita 1 Magelang!”
“Weh tarki semua!” ada yang teriak kaya gitu. Di menit
berikutnya, terdengar:
“Tarki bersatu tak bisa dikalahkan!”
Semua pengumuman lomba selesai dibacain. Musik mengalun,
dan kebahagiaan tiba di puncaknya. Kami semua lari, turun ke bawah. Nggak cuma
mama yang takpeluk, tapi juga beberapa dosen lain kaya Miss Mita. Kebahagiaan
ini harus diluapkan, entah gimana caranya.
Sempat kecewa nggak dapet juara satu, yang artinya kami nggak
bakal ditraktir Preksu sama Mister Arko. Tapi buat kami, itu nggak penting.
Kami telah berjuang, semaksimal mungkin, lalu menyerahkan semuanya sama Tuhan.
Itu adalah karyaNya. KehendakNya. Sejujurnya, hadiah hasil perlombaan itu cuma
bonus. Kebahagiaan yang kami dapat adalah hadiah utamanya.
***
Hampir lima bulan setelah English Action Days 2016. Tapi,
aku masih suka baper kalo ngeliat foto-foto
kebersamaan Tim Preksu. Memori indah itu, akan bertahan selamanya. Kenangan itu
udah tertulis di sini. Sebab:
“Scripta
manent, verba volant. Yang terucap akan hilang, yang tertulis akan abadi.”-
pepatah Latin.
Cheers,
Vina Kanasya
***
Dear
teman-teman Tim Preksu + Mister Arko + teman-teman yang sudah mendukung kami
Aku nggak nyangka, memori hari itu,
masih bertahta di hati dan pikiranku. Aku masih inget gimana bahagianya bisa
ngangkat piala itu. Piala yang sekaligus jadi piala pertamaku dalam tujuh belas
tahun. Aku masih inget, waktu baru mau mulai latihan dan Regin bilang sama aku
kalo dia kena rubella, jadi belom bisa ikut latihan. Sehari menjelang hari
eksekusi, Regin juga bilang kalo dia kurang enak badan. Sempet panik juga,
karena tinggal besok. Tapi rupanya, waktu lomba Regin baik-baik aja kan?
Sumpah, masih
suka terbawa perasaan kalo nginget peristiwa hari itu. It was one of the best
moment in my life. Aku nggak pernah bayangin bakal jadi deket banget sama
Bunga, Regin, Monic, Laura, Efma, Sensia, Prilly, Satya, Aga, Juma, bahkan sama
Mister Arko, Jusi, Ranum, Rani, sama Ally. Terkhusus sama Tim Preksu. I love
you, my girls!
Masih suka
baper juga kalo inget waktu Rani sama Jusi ngasih tau kalo mereka lolos ke
final. Merinding banget. Jusi yang dihari kedua sampe bawa kamus tebel banget, akhirnya
pulang membawa juara 3. Rani, meskipun belom berhasil membawa piala, tapi kamu
tetep juara di hati kita kok. Semua joke-joke yang sering kamu lontarkan selalu
buat kami ketawa. Semua kalimat ceplas-ceplosmu lumayan menghilangkan nervous.
Buat Ranum, meskipun belom lolos final, masih ada tahun depan. Kamu masih bisa
coba lagi. Udah pernah aku kasih tau bocorannya, kan? :))
Masih inget
banget gimana ekspresinya Prilly, Sensia, sama Efma. Oh, aku juga inget pas
latihan hari Sabtu di sekolah, waktu ngulang bagiannya Efma yang masuk ke scene
2. Efma nggak bisa nggak noleh ke kaca. Dan itu bener-bener bikin kita semua
gemes. Bahkan, Mister Arko sampe berdiri di depan kaca ruang guru supaya Efma
nggak noleh ke situ.
Atau,
latihannya Bunga pas adegan terakhir. Pengorbananmu ga sia-sia, Bung. We got
the 2nd place! Aku juga masih suka kesel sama diriku sendiri yang susah banget
mau ngafalin skrip, dan gak bisa membuang kebiasaan Vina yang asli. Satu scene
yang sama harus diulang berulang kali karena salah.
Kita juga bisa
tunjukkin sama semua yang ada di ruangan K02 waktu kita tampil, kalo sekolah cewek
semua nggak bikin kita manja. Kita bisa angkat semua properti itu sendiri.
Bahkan, kita dipuji ‘they know exactly what should they do’ sama jurinya. Aku
masih suka merinding kalo denger pujian itu. Apa yang udah kita siapin, nggak
sia-sia. Karena proses nggak akan mengkhianati hasil.
Aku kangen
latihan sampe sore bareng kalian. Aku kangen ngangkat-ngangkat meja. Aku kangen
lari muter koridor aula. Aku kangen sepinya Pendopo kalo cuma tinggal kita di
situ. Aku kangen makan Preksu bareng kalian. Aku kangen sound effect-nya Juma.
Aku kangen majalah Kartini yang dibawa Regin waktu scene 1. Aku kangen marah-marahnya
Monic. Aku kangen proposalnya Bunga. Aku kangen amplop sama duitnya Laura. Aku
kangen ekspresinya Prilly waktu bilang ‘this is nonsense’. Aku kangen dialog
‘Mooommm I need your money’-nya Efma. Aku kangen ‘Euw, you look so sad. If you
wanna be happy, join us’-nya Sensia. Aku kangen ‘In my time’-nya Satya. Aku
kangen nampan stainlessnya Aga yang suaranya cetar. Dan aku merindukan dialog
‘Bunga!’ yang aku teriakkan di scene terakhir. Intinya, aku kangen latihan
bareng kalian!
Mungkin
tulisan ini memang kepanjangan. Maklum sudah dari tanggal 21 nyangkut di draft,
tapi baru bisa aku selesaikan tanggal 30. Itu saja malam. Jadi, ceritanya udah
kemana-mana.
With love,
Vina Kanasya
Comments
Post a Comment