Untuk Orang yang Sering Aku Tinggal Tidur

"Kita tak pernah tahu, berapa lama kita diberi waktu
Jika aku pergi lebih dulu, jangan lupakan aku
Ini lagu untukmu, ungkapan terima kasihku”

***

kehilangan /ke•hi•lang•an / n 1 hal hilangnya sesuatu

perpisahan/per•pi•sah•an/ v 1 perceraian; 2 hal berpisah

***

Satu bait terakhir dari lagu Monokrom dari Tulus dan dua pengertian itu kayaknya cukup untuk ngasih gambaran, tentang tulisanku kali ini.


Nggak tau kenapa, akhir-akhir ini kepikiran mulu sama yang namanya kehilangan dan perpisahan. Aku tau, ujian nasional memang masih beberapa bulan lagi. Pengumuman kelulusan, perpisahan, sama wisuda juga masih jauh. Tapi buat yang ngikutin blogku, sekitar awal bulan September lalu, aku bikin tulisan dengan judul “Basket, BestWriter, dan Perpisahan”. Tulisan itu sedikit menyinggung tentang perpisahan. Berikut cuplikan tulisan itu:

“Apa yang mendasari tulisan ini? Sebuah kesadaran akan perpisahan.

Dalam hitungan bulan, ujian nasional akan tiba. Tak lama lagi, karena waktu selalu mengalir tanpa bisa ditahan, saya akan meninggalkan sekolah ini. Menanggalkan titel ‘anak SMA’ yang sudah hampir 3 tahun melekat dalam diri saya. Jujur, saya tidak memiliki banyak teman di angkatan saya sendiri. Jumlah teman yang bisa saya percaya sepenuhnya hanya hitungan jari. Saya justru menjalin relasi pertemanan yang indah dengan para adik angkatan dan para guru.”

Nggak tau kenapa (2), tapi aku ngerasa kalo perpisahan itu bener-bener udah di depan mata. Mungkin cerita ini sedikit personal, tapi aku nggak tau harus nyeritainnya gimana, aku lebih memilih untuk nulis di sini.

Well, kayaknya ini bermula dari pembicaraan aku, Jo, sama Pak Icok beberapa minggu lalu tentang dunia kuliah. Aku udah yakin banget untuk kuliah di Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Sanata Dharma. Sementara Jo, masih bingung mau lanjut kuliah ke mana. Antara ke teknik pangan Unika Soegijapranata di Semarang, atau mengambil International Engineering di Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

Jauh di lubuk hatiku yang paling dalam, aku pengen banget Jo tetep di Jogja aja, ambil prodi internasionalnya UAJY. Tapi, Jo pernah bilang kalo Mamanya mau dia mengambil teknik pangan di Unika. Sedih? Iya. Seberapa besar? Kalo dari skala 0-10, jawabannya 8.

Dan harapanku supaya Jo tetep di Jogja kandas pas dia ngambil formulir Unika di BK. Rasanya sesek banget di dada waktu ngeliat Instagram story-nya Jo yang berisi foto formulir itu. Aku nggak mau kehilangan sahabatku di SMA.

Mungkin tulisan ini terlalu alay, perasaanku juga terlalu berlebihan. Tapi, kalian tau kan rasanya ditinggal pergi sahabat ke kota lain? Aku tau Jo memang ke sana untuk mengejar mimpinya, tapi ada bagian dari diriku yang masih berharap pada keajaiban. Aku 2x mengalami kehilangan seperti ini.

Pertama, saat Nimas, temen SDku harus pindah ke Melbourne, ikut orang tuanya (yang kebetulan aku kenal) studi di sana. Kedua, waktu Ega harus pergi ke Singapore, ikut orang tuanya juga.

Kenapa rasanya nggak rela? Karena aku tau, beda benua, bahkan beda kota aja, bakal bikin persahabatan nggak seerat ketika masih sering ketemu. Adakah gembok atau segel yang mampu menjamin? Nggak ada yang 100%.

Aku nggak mau, kehilangan orang yang udah baiikkkk bangettt sama aku di SMA ini. Orang yang hampir selalu menyediakan waktu saat aku butuh temen cerita; orang yang suka protes karena ceritaku itu-itu aja (emang salahku); orang yang udah mau ngerangkul aku saat dunia menjauh; orang yang selalu menghibur aku di saat aku sedih; orang yang benci ketika aku nangisin hal yang sama; orang pertama yang aku kasih tau aku lagi jatuh hati sama siapa; orang yang nawarin aku untuk ikut lomba jurnalis; orang yang masih dengan seragam mau nemenin aku jalan di koridor kampus; orang yang nemenin aku makan di Sushi Story sambil nunggu ujan dan nganter aku ke kampus; orang yang aku takutin kalo lagi badmood; orang yang paling sering jadi target bidikan lensaku tapi paling sering menghindar juga; orang yang udah jadi partner belajar UKK sampe tengah malem; orang yang sering aku tinggal tidur; orang yang udah jadi temen nangis-nangis waktu saling ngakuin kesalahan dan minta maaf pas udah mau naik ke kelas 12; orang yang jadi partner ngobrolin novel; orang yang udah jadi ‘tempat sampah’ dari unek-unekku selama ini. Sahabat yang aku sayang banget di SMA ini.

Tau kan, kalo nyari sahabat itu nggak semudah nyari temen? Semua orang bisa jadi temenmu, tapi nggak semua orang bisa jadi sahabatmu, yang mau terima segala kekuranganmu. Dan Jo, adalah orang yang udah aku anggep sebagai sahabatku. Orang bisa nyimpen semua masalah yang udah aku percayain sama dia. Jika aku adalah gembok, maka dia adalah salah satu kuncinya.

Jujur, rasanya sakit banget waktu tau dia bakal pindah ke Semarang. Tapi aku bukan siapa-siapanya. Aku nggak punya wewenang untuk ngelarang dia pergi ke Semarang, melebarkan sayapnya untuk terbang meraih mimpi. Aku nggak punya hak untuk ngatur dia.

Kadang, aku bertanya-tanya sama diriku sendiri, kira-kira, apa yang sedang aku lakukan 4 tahun dari sekarang? Sibuk dengan mata kuliah micro teaching, proposal seminar, play performance, atau PPL? Atau malah sudah mencoba mengerjakan skripsi dan sibuk mencari referensi di perpustakaan? Dan ketika aku sedang sibuk, mungkin dengan propsem ataupun laporan PPL di Jogja, di mana, dan apa yang sedang Jo lakukan? Sedang sibuk dengan berbagai eksperimen dan penelitian di lab? Atau, sedang KKN di daerah yang tak terjangkau sinyal? Kadang, banyak banget pertanyaan-pertanyaan besar yang menghantui kalo lagi ngelamun, atau kalo lagi glundungan di kasur pas gak bisa tidur karena hujan turun. Pertanyaan-pertanyaan yang cuma bisa dijawab oleh waktu.

Udah tujuh belas tahun delapan bulan aku hidup di dunia ini. Dua belas tahunnya aku habiskan di sekolah. Nggak banyak orang yang bener-bener aku percaya untuk jadi sahabatku, menyimpan ceritaku. Hanya hitungan jari. Sahabat SD? Mungkin Sita bisa masuk hitungan. SMP? Well, ada Ega Dhimas Hayuno Obin sama Sita, itu aja, sekarang udah jarang kontak karena sama-sama sibuk. SMA? Joaene, Yoke, sama Cherlyn adalah sahabat yang bener-bener sahabat. Di luar kehidupan sekolah? Ada kak Sari.

Apa sih pengertian sahabat buat aku? Sahabat adalah orang-orang, yang bersama mereka aku bisa jadi diriku sendiri, tanpa aku perlu berpura-pura jadi orang lain. Orang yang tau luar dalemku. Mereka adalah orang-orang yang bisa aku percayain ceritaku.

Langgeng/awetnya persahabatan sebenernya balik lagi ke orangnya. Mau mempertahankan atau nggak. Kaya kak Sari. Kak Sari punya sahabat dari TK. Could you imagine that? It’s a-seventeen-year friendship! Aku pengen punya sahabat yang bisa longlast kaya gitu. Katanya sih, kalo udah sahabatan 7 tahun, persahabatan itu bakal awet sampe seumur hidup.

***

Dear Joaene Augustine,

Jo, meskipun nanti kamu kuliah di Semarang atau di manapun itu, tolong jangan lupain aku. Tolong tetep keep in touch, tolong saling mengingatkan kalo kita udah sama-sama jauh. Aku nggak mau apa yang udah kita lewatin bareng, tawa canda isak tangis, tertinggal di belakang gitu aja begitu kita lulus. Could you please bring those memories wherever you go? Cause I’ll do the same. Kepercayaan yang udah aku kasih ke kamu, tolong dibawa terus. Aku nggak mau kehilangan kamu sebagai sahabatku.

Semoga 5-10 tahun dari sekarang, kita masih tetep sahabatan. Nanti, kamu udah jadi sarjana teknik, aku udah jadi sarjana pendidikan. Kamu jadi teknisi pangan, aku jadi dosen Bahasa Inggris. I’ll see you on top.

“Di mana pun kalian berada
Kukirimkan terima kasih
Untuk warna dalam hidupku
Dan banyak kenangan indah
Kau melukis aku” – Monokrom, Tulus

“When the world is  getting colder, when you get through those though times
Now I know we’re getting stronger, cause the love we had we have faith to believed in a trust
To hold on a love in unconditional way

Tell me when you miss me, call me when you’re lonely
Hey there don’t you worry, no matter how far
Baby I’ll be there yeah
I’ll be there for you” – Dear Friend, HiVi!


Salam,


Vina Kanasya

Comments