Basket, Best Writer, dan Perpisahan

Keinginan untuk membuat tulisan ini muncul begitu saja saat kemarin sore, saya ikut duduk di tepi lapangan basket Asrama Trenggono, menyaksikan latihan basket untuk kesekian kalinya. Kebiasaan ini bermula sekitar sebulan sebelum ajang kompetisi basket yang disponsori oleh sebuah merek kendaraan digelar. Saat itu, saya bersama seorang teman bernama Ajeng beberapa kali ikut latihan basket untuk membiasakan diri menangkap momen. Secara tidak langsung, kami juga membangun relasi bersama ke-11 orang pemain basket dan sang coach.

Sejujurnya, saya merasa menjadi bagian dari tim basket (entah apakah mereka menganggap saya sebagai bagian dari mereka). Saya mengikuti perjuangan mereka, ikut mendengarkan cerita mereka, berbagi banyak hal selama hampir 3 bulan bersama mereka. Lama kelamaan, saya menjadi akrab dengan mereka. Sehingga, tatkala jemari ini menari di atas keyboard untuk menciptakan sebuah berita untuk dilombakan, semua terasa amat ringan ketika saya menulis tentang mereka. Saya sadari, tidak mudah mencipta sebuah tulisan kalau tak ada rasa cinta yang mendasari tulisan tersebut. Di situlah saya menyadari 1 hal: saya amat menyayangi tim basket sekolah saya.

Cerita ini bermula saat sekitar bulan Maret, saya ditawari oleh seorang sahabat bernama Joaene (yang juga merupakan pemain basket) untuk menjadi jurnalis di lomba tersebut. Saya dengan senang hati menerima tawaran tersebut. Mengumpulkan persyaratan, termasuk di dalamnya akta kelahiran asli dan ijazah SMP asli. Yang kemudian menciptakan tanda tanya besar di benak kedua orang tua saya: Itu hanya lomba, mengapa harus memakai akta dan ijazah asli sebagai syarat pendaftaran? Setelah melewati banyak tahap dalam pendaftaran, akhirnya saya dan Ajeng resmi menjadi wakil sekolah untuk ikut lomba jurnalis.

Saya tahu seperti apa perjuangan tim basket dalam mempersiapkan lomba ini. Ketika anak-anak lain bisa pulang kampung atau liburan bersama keluarga saat jeda kenaikan kelas, mereka masih harus merasakan panasnya sengatan matahari dan licinnya lapangan basket Trenggono yang dipenuhi pasir untuk terus mengasah kemampuan. Meski rasa lelah dan rasa jenuh tak jarang melanda, mereka masih terus berlatih. Menurut saya, persiapan mereka sangatlah matang.

Kedekatan dengan tim basket membuat saya ikut merasakan kebahagiaan ketika mereka meraih kemenangan. Tulisan yang saya buat untuk journalist competition setelah kemenangan mereka bernafaskan cinta dan kebahagiaan. Dengan semangat membara, jemari menari di atas keyboard, menciptakan tulisan baru. Tulisan demi tulisan tercipta, masih dengan cinta yang sama. Tapi, benarlah kata orang: Jangan sekali-sekali menjatuhkan seluruh hati untuk seseorang. Jika orang itu pergi, kamu akan hancur.

Ketika langkah mereka harus terhenti di babak big eight, saya ikut patah hati, ikut menangis sejadi-jadinya. Selesai nyanyi mars, saya langsung berlari menuju sekretariat dengan melewati penonton lain, masih dengan sisa tangisan. Saya sudah tidak peduli, pokoknya saya harus segera berada di ruang ganti. Setelah hari itu, berhari-hari kemudian saya nggak bikin tulisan. Daripada saya nulis, tapi tulisan itu nggak punya jiwa, mending nggak usah.

Setelah hati agak tenang, saya malah bertekad menulis sesuatu dari permainan itu. Tapi Mas Mer dan beberapa anak basket lain melarang saya dengan alasan yang nggak akan saya sebutkan di sini. Akhirnya, saya memutuskan untuk menulis tentang Jaqueline-Josefien, sepasang kembar di tim basket Stero. Dari kacamata saya, mereka adalah hal unik yang bisa dibahas karena nggak semua tim basket punya pemain yang kembar. Akhirnya saya wawancara mereka sebagai bahan tulisan. Tulisan yang saya buat sepenuh hati, serius, serta penuh pertimbangan dan pemilihan kata itu saya pilih untuk penjurian utama dalam journalist competition.

Beberapa waktu setelahnya, grup jurnalis kembali ramai karena akan diadakannya journalist camp. Saya mendaftarkan diri tanpa disertai niat untuk mengikuti acara tersebut. Di hari H acara, saya berpikir untuk batal ikut, dengan alasan kelelahan. Tapi, setelah saya ijin di grup tidak bisa hadir, saya dihubungi lewat personal chat oleh seorang panitia. Panitia tersebut mengatakan kalo saya mendapat salah satu award di kompetisi itu. Emang saya yang nggak punya pendirian, dibilang gitu eh malah berubah pikiran pengen ikut.

Saat malam penganugerahan, gelar yang saya kira akan jatuh pada saya ternyata jatuh untuk orang lain. Saya jadi pesimis dan mulai berpikir: emang beneran saya akan dapet award? Harapan mulai pupus. Lalu MCnya membacakan gelar yang hanya akan diraih secara perseorangan. Best Photographer dan Best Writer. Saat sang MC mengatakan, “Gelar Best Writer jatuh kepada......” saya menutup mata dan telinga, nggak mungkin aku, batin saya. Namun Tuhan selalu punya kejutan. Kejadian malam itu tak akan saya lupakan.

“.....Alfonsa Vina Kanasya dari SMA Stella Duce 2!” Teman-teman jurnalis lainya sudah mulai bertepuk tangan, namun saya masih terdiam di tempat duduk. Nggak mungkin, ini pasti mimpi. Tapi keramaian di situ terlalu nyata untuk dianggap mimpi.

Orang pertama yang saya beritahu tentang kabar membahagiakan ini adalah Joaene, orang pertama yang menawari saya untuk menjadi jurnalis. Dia berhak tahu lebih dulu dibanding yang lain. Lalu saya baru mengabari Mama, Papa, Kak Sari, Kak Viko, Tami, dan Mas Mer. Sedikit banyak untuk memenuhi ego, saya membagikannya di Instagram Story dan Path. Beberapa teman juga mengucapkan selamat. Menurut saya, itu bukan kemenangan saya. Tapi itu kemenangan bersama. Kemenangan tim DBL. Jika saja bukan tulisan tentang Je-Jo yang saya jurikan, mungkin gelar itu tidak akan jatuh pada saya.

***

Ajang kompetisi itu memang sudah tertinggal sebulan di belakang, namun beberapa kali saya masih menyempatkan diri menonton latihan basket. Entah hanya sekedar ketika belum dijemput, atau juga memang meniatkan diri ikut untuk mengasah kemampuan untuk membidik lensa. Sejak tahun ajaran baru dimulai, baru sekali saya ikut ‘menyelinap’ untuk memotret lagi. Saya sengaja menyempatkan diri di tengah kesibukan akademik untuk mencari kesenangan.

Meskipun ajang itu telah selesai, bukan berarti relasi yang telah saya bangun bersama tim basket akan ikut selesai. Saya masih akan menyempatkan diri barang 1-2 kali dalam sebulan untuk memotret mereka. Ketika kesibukan persiapan ujian nasional nanti tiba, dan saya sudah tidak punya waktu untuk memotret latihan basket, saya akan sangat kehilangan momen-momen kebersamaan itu.

Apa yang mendasari tulisan ini? Sebuah kesadaran akan perpisahan.

Dalam hitungan bulan, ujian nasional akan tiba. Tak lama lagi, karena waktu selalu mengalir tanpa bisa ditahan, saya akan meninggalkan sekolah ini. Menanggalkan titel ‘anak SMA’ yang sudah hampir 3 tahun melekat dalam diri saya. Jujur, saya tidak memiliki banyak teman di angkatan saya sendiri. Jumlah teman yang bisa saya percaya sepenuhnya hanya hitungan jari. Saya justru menjalin relasi pertemanan yang indah dengan para adik angkatan dan para guru. Sedih jika membayangkan ketika lulus nanti dan berganti titel menjadi mahasiswa, saya harus berpisah dari para guru, sahabat seangkatan, dan para adik angkatan yang lucu, kocak, menyenangkan, gila, dan selalu mampu membuat saya tersenyum mengingat tingkah laku mereka. Ah, saya juga pasti akan merindukan sapaan “Kak Vina” dari para adik kelas yang bahkan beberapa dari mereka saya tak tahu namanya. Sebutlah nama-nama seperti Joaene, Yoke, Cherlyn, Wastu, Tami Jaqualine, Josefien, Reni, Regina, Salsa, Echa, Resika, Siena, dan beberapa nama guru seperti Frau Endah, Pak Markus, Bu Yohana, Pak Icok, bahkan Pak Advent, Bu Peni, Bu Ana, Bu Christin, Bu Siwi, Mister Arko, Bu Wiwik, juga Mas Merari. Saya akan sangat merindukan mereka semua. Juga semua canda tawa, sapaan-sapaan hangat, senyuman di pagi hari, dan serba-serbi lainnya yang amat membekas di hati.

“Alangkah cepatnya waktu. Alangkah singkatnya kebersamaan kita.” – A. Mustofa Bisri

Perpisahan, walau belum terjadi, namun terasa amat menyesakkan dada. Seperti meminum teh manis tanpa mengaduk gulanya terlebih dahulu, masa SMA ini menjadi begitu manis ketika telah sampai diujung.



Cheers,

Vina Kanasya

Comments