Random Thoughts during College Life

"Aku percaya, ada berjuta alasan kenapa kita ada di tempat kita berada sekarang. Ada berjuta alasan kenapa seperti inilah hidup yang kita jalani. Dan aku yakin, alasan-alasan itu ada untuk membuat hidup kita semakin penuh dengan warna-warna baru.” – vin

“Everything happens for a reason, and part of that beauty of life is that we’re not allowed to know those reasons for certain.” – Aron Ralston



Hai! Long time no seeeeee. Finally, setelah hampir 4 bulan nggak ngepost sesuatu di blog, hari ini aku tergerak untuk bercerita. Draft tulisan terakhir tentang Insadha 2017 ku stuck, nggak berlanjut. Berhenti di 1266 kata. Nggak ada feel buat ngelanjutinnya, trus euforianya juga udah habis, berganti sama English Welcoming Days. Ditambah short term memory yang cukup mengganggu. Well, sekarang pengen cerita-cerita aja, berbagi tentang kehidupan dan opini yang belom sempat terbagikan 4 bulan terakhir ini.  


How’s your life, Vin?


So far so good. I am very happy with my choice, ELESP. The classes, the lecturers, the friends, the activities, the seniors, everything’s amazing. I live the life that I really want to live. I enjoy the phonetic transcriptions, pronunciations, grammar, spellings, punctuations, Oxford Advanced Learner’s Dictionary, listening quiz, error sentences, vocabularies, speaking, writing, reading, etc. I enjoy every single day that I’ve gone through.


Kelas jam 7 setiap hari Selasa, Rabu, sama Kamis dijalani. Jeda 5 jam di hari Rabu sekarang jadi produktif karena diisi tutor grammar sama pronunciation. Kuliah jam 9 di hari Jumat yang selalu hampir telat, kelasnya di lantai 3 lagi wkwkwk. Semua terasa sangat membahagiakan. It feels amazing when you can do what you love, and love what you do. So here I am, doing everything and taking every single steps with love. Mungkin karena emang udah dari lama banget mengimpikan hidup yang kaya gini. Sebanyak-banyaknya tugas rasanya tetep enjoy dan bahagia banget.

Apa ya, nggak tergambarkan gitu perasaannya. I am really living my choice. I am happy with my decision. I don’t regret it. Yeah, so far.

***

/feeling/

How does it feel living in the same study program with your mom, Vin?

HAHAHA. Mau ngakak dulu tentang hal ini. Mungkin ada yang bertanya-tanya, how does it feel? Jawabannya adalah: asli, gokil! Lucu banget rasanya. Gemes gitu. Jadi punya topik guyonan dan pembicaraan yang berbeda dari biasanya. Terasa sangat unik dan bikin gemesssshhh >,< dan di sisi lain, hal ini jadi tantangan tersendiri buat aku. Aku merasa tertantang untuk membuktikan, kalo aku di sini memang pilihanku, keputusanku. I want to prove that I’ve already chosen PBI, and I am going to live my choice.

Nggak ada paksaan sama sekali dari Mama, malah Mama sempet ‘nakut-nakutin’ kalo PBI itu susah, PBI tugasnya banyak, PBI berat, dan ini dan itu. Tapi aku nggak goyah. Waktu beli formulir (which is it’s almost one year ago. Man, time really flies so fast) dan ngisi pilihan program studi, aku cuma nyilang satu: Pendidikan Bahasa Inggris. Bener-bener cuma 1. Legalisir berkas cuma 1, sampe ditanyain bapak petugas TU waktu itu, “Kamu cuma legalisir 1?”

And honestly, if the time can be reversed, and I have that sorcery, ability—or whatever—to reverse the time, I really want to do that. Why? Because I think it’s better if no one knows who I am. Sometimes, I think about it. How if, no one knows about me? Maybe everything would be different. But unfortunately, this girl still can’t ride motorcycle (she’s still tryin). So I often gotta go to campus with my mom. Go conclude it.

Yakin itu aja cerita yang menyangkut perasaan?

Nggak sih. Ada lagi cerita yang menyangkut rasa. Campur aduk kalo ini. Bahagia, rindu, kehilangan, sedih, gemes, semua jadi satu. Untuk Bartebad. Untuk English Welcoming Days 2017. It’s such a very unforgettable moment for me. It’s unforgettable, indescribable, and one of the happiest moments in my life. Meskipun pulang dari EWD dengan beberapa lecet dan memar di kaki; meskipun kurang tidur dan berakhir dengan tidur jam 6-bangun jam 6 (yes, I did that. Every single time I came back home from a camp, a retreat, or anything like that); meskipun setengah hatiku yang lain masih ketinggalan di Wonogondang (don’t take it seriously, Dude. It’s just a allegory); dan meskipun-meskipun yang lainnya, EWD tetep unforgettable.

Tentang Bartebad kalo diceritakan semua mungkin bisa berlembar-lembar sendiri. Jadi aku cerita singkatnya aja. Bartebad ini kelompok EWDku. Arti maknanya itu intinya Elang Jawa x Suku Badui. We’ve gone thru ups and downs together, for more or less one month. And I got one conclusion: I love them! They made me forgot my sadness when I lost my charger, which is, it ruined my mood for the rest of the day, and they did make me laugh. They made me smile almost everyday during the process and preparation of EWD. They made my day.

Nggak ngerti lagi gimana mau mendeskripsikan Bartebad. I’m so lucky that I have them as my new family. We’re not just a group of EWD. We’re family. Susah seneng semua dilewati bareng-bareng. Micin dan zat-zat berbahaya semua dimakan tiap dinamika. Gula penyebab diabetes selalu menghiasi dinamika. Ya Tuhan, aku rindu :”) koridor E Corner menyimpan sejuta cerita Bartebad. Semua dinamika itu nggak akan pernah terulang. Everything’s already left behind. All you can do is just turning back, smiling, be grateful, and one thing for sure: you have to move forward.



Thank you, documentation of EWD :3
P.s: fotonya Bartebad ini aja ya, meskipun sebenernya aku punya banyak banget wkwkwk


***


/prin·sip/

Prinsipku untuk saat ini adalah semua dibawa seneng, dibawa santai, jangan dibawa perasaan. Masalah akan terus datang setiap hari, nggak mengenal tempat dan waktu. Jangan bikin satu masalah merusak harimu. Jangan sampe satu masalah di hari Senin merusak satu minggumu. Let the problems go, and make yourself happy. Karena satu-satunya orang yang bisa bikin kita bahagia adalah diri kita sendiri.

“It’s just a bad day, not a bad life.”

Jangan sampe kita bad feeling sama seseorang, trus kita jauh dari dia. Jangan sampe sebuah kesalahpahaman merusak relasi kita dengan seseorang. Ketika kita punya masalah, sebaiknya ambil jarak, kasih waktu. Kita semua butuh waktu untuk bisa ‘sembuh’ *yang ini self noted. Banget*.

And I’ve learned that we can’t please everyone. People’s opinion shouldn’t bother your life, dude. Those things aren’t supposed to bother you. There are another important things in your life that you have to concern. Terkadang banyak perilaku yang kita anggap biasa, nyatanya dibenci orang lain. Satu kunci mengatasi ini adalah: meyakini bahwa kita memang nggak bisa bikin semua orang seneng. Nggak semua orang. We can’t please everyone. Remember that. It’s a note to yourself. Well, at least, you gotta do the things that make you happy. And forget the rest. Ignore other people’s judgement, they don’t affect your life. Mau sebaik apapun kita berperilaku, mau kita berusaha sekeras apapun untuk jadi orang baik, tetep bakalan ada orang yang nggak suka sama kita. Yakin deh. Mbok ya orang sebaik apapun di muka bumi ini, pasti ada yang nggak suka. One more note: People’s judgement doesn’t define you. It defines their attitude.


“When someone judges you, it isn’t actually about you. It’s about them and their own insecurities, limitaions, and needs.”—@thegoodvibe.co

 
Note to your self: you are not a jar of Nutella. You can’t make everone happy. 
***

/mask/


Have you already put your mask down? – ask this to yourself

Kita seringkali masih takut untuk menjadi diri kita sendiri dalam kehidupan. Terlebih di lingkungan dan di tengah orang-orang yang baru. Takut untuk jadi diri sendiri adalah akar dari segala ketakutan yang lain. Takut nggak punya temen, takut nggak disukai, takut dianggap old-fashioned, dan ketakutan-ketakutan lainnya. Ini juga jadi tema Insadha 2017 kemaren, “Jadi Diri Sendiri, Bersatu dalam Aksi, Kebhinnekaan Menginspirasi”. Dapat dipahami tentunya tentang tema ini. Banyak anak muda Generasi Z (kelahiran tahun 1996 sampai ± 2010) yang seringkali takut untuk jadi dirinya sendiri dan melepas topeng yang selama ini dipake.


Ini refleksi pribadi aja. Kalian pasti punya temen yang sifatnya tiba-tiba aja berubah. Eits, jangan bilang dia berubah dulu. Siapa tau dia memang melepas topeng yang selama ini dia pake, dan sekarang, dia menunjukkan wajah aslinya. Pernah mikir sampe sana? Bukan dia yang berubah, tapi topengnya yang terlepas. Aku pernah bahas ini di postingan terakhirku (Agustus 2017).

“Sometimes it’s not the people who change. It’s the mask that falls off.”


Ketika teman kalian menunjukkan wajah aslinya, itu artinya tantangan baru bagi kita, apa kita tetep bisa terima dia apa adanya sebagai seorang teman? The decision is in you. Either you want to deal with the condition, or you want to leave. I’d rather choose the first option.


***

Hmm, makin ngelantur aja, Vin.


Harap maklum, ini draft tulisan udah agak lama, dan baru sempet terselesaikan sekarang. Ternyata kegiatan kuliah bener-bener menguras waktu dan tenaga :”) by the way, balik lagi ke 2 kutipan yang mengawali tulisan ini tadi ya.

“Aku percaya, ada berjuta alasan kenapa kita ada di tempat kita berada sekarang. Ada berjuta alasan kenapa seperti inilah hidup yang kita jalani. Dan aku yakin, alasan-alasan itu ada untuk membuat hidup kita semakin penuh dengan warna-warna baru.” – vin

“Everything happens for a reason, and part of that beauty of life is that we’re not allowed to know those reasons for certain.” – Aron Ralston


Kadang, ketika hidup nggak berjalan sesuai dengan yang kita inginkan, kita mulai bertanya, “Kok gini ya?” seenggaknya itulah yang aku rasakan beberapa bulan terakhir ini. Hidup itu nggak pernah mudah, selalu ada tantangan di dalamnya. Dan aku percaya, selalu ada alasan baik di balik semua hal yang terjadi pada kita. Because everything happens for a reason. Kita nggak perlu tau alasan-alasan itu. Sebagai seorang manusia, kodrat kita adalah menjalani hidup yang sudah direncanakanNya. Kita nggak punya hak untuk mengintrupsi apa yang sudah direncanakan Tuhan untuk kita. Yang aku tau, bakal ada saatnya untuk kita seneng, ada saatnya kita sedih, dan selalu ada ruang untuk emosi-emosi yang lainnya. Semua adalah masalah waktu.


Izinkan aku mengutip tulisan Bernard Batubara dari bukunya, Luka Dalam Bara:

“Saat tidurku tidak bermimpi, itu pertanda bahwa semesta mimpi sedang berkata kepadaku, “Hei, tidak ada hal lebih manis yang dapat kau temukan di sini daripada di kenyataanmu. Kembalilah segera pada kenyataanmu. Di sana kenyataanmu telah menunggumu, mencintaimu, memperhatikanmmu sepenuh tenaga dan waktunya. Cintailah kenyataanmu.”

Maka dengan cara seperti itulah aku berkali-kali sadar, bahwa seindah-indahnya mimpiku, kenyataanku lebih indah.

Kamu, adalah kenyataanku, yang lebih indah dari ribuan mimpi-mimpiku.”


Aku barusan aja baca paragraf itu. And I found that it’s quite relevant with my thoughts (well, except the last sentences lol). Jangan terbuai dengan indahnya mimpi, karena kita hidup di kenyataan, bukan di alam mimpi.

Satu lagi, aku jadi inget tentang lucid dream. Lucid dream secara singkat adalah keadaan di mana kamu sadar kalo kamu sedang bermimpi. Just try to google it. It’s worth to search.


Dan dari pada tulisanku makin ngelantur nggak jelas, sampai ketemu di postingan berikutnya :D


Cheers,

Vina Kanasya

Yogyakarta, 7 November 2017
23:09


-pardon my grammar. I’m in an effort to improve it, and it turns out that I spontaneously use English in my post-


Comments

  1. Good writing, it motivates me so much 👍

    ReplyDelete
    Replies
    1. It motivates you to finish your study as soon as possible? :)) Glad to hear that, thank you for the appreciation, kakk. Goodluck for your 6th semester, ya :D

      Delete

Post a Comment