Barangkali ini Jawabnya
Barangkali tulisan ini akan bisa menjawab
pertanyaan teman-teman. Selama ini aku sering kesulitan untuk menjawab, mungkin
lewat tulisan aku bisa lebih luwes cerita.
***
Hai!
Ujian akhir
semester (yang katanya baru ganti nama jadi penilaian akhir semester) baru saja
selesai tanggal 6 Desember kemaren. Akhirnyaaaa astagaa. Nggak ada lagi belajar
sampe jam 1 pagi trus besoknya kurang tidur tapi gapernah bisa tidur di ruang
ujian. Nggak ada lagi bengong 1 jam nungguin bel tanda selesai. Nggak ada lagi
ngerjain soal dilama-lamain buat membunuh waktu. Nggak ada lagi gallery hape
yang penuh sama foto catetan maupun soal. Nggak ada lagi ribut-ribut nyariin
soal tahun lalu yang kita curigai diumpetin Bu Peni.
By the way, ada hal
yang pengen aku bagiin di sini. Sedikit banyak, mungkin akan menjawab
pertanyaan dari banyak temen-temen aku. Sebenernya ide ini udah agak lama
munculnya. Tapi berhubung selama uas cuma bisa menatap laptop sambil membatin kapan
bisa nulis lagi, baru sekarang tulisan ini terealisasikan. Selama uas harus
menghabiskan waktu bersama handout dan buku-buku pelajaran untuk ujian
besoknya.
Jujur aja,
tulisan ini udah mengganggu pikiranku selama beberapa waktu. Dan jadi makin
yakin untuk mewujudkannya menjadi tulisan setelah kejadian beberapa hari lalu.
***
Awal mula ide ini
adalah waktu aku ketemu untuk kedua kalinya sama HiVi. Sekitar sebulan yang
lalu aku liat poster gigs di jalan.
Ada HiVi! sama Frau tanggal 4 Desember di gedung PKKH UGM. Wiih gila itu
senengnya bukan main. Artinya akan ada kesempatan lagi buat ketemu kak Ezra,
kak Febri, kak Ilham, sama kak Neida. Ternyata, kalo dihitung, 4 Desember itu
genap 5 bulan setelah mereka manggung di acara Dental Project, 4 Juni 2016
(baru nyadar aja). Setelah aku ketemu HiVi! buat pertama kalinya, 5 bulan yang
lalu, aku semakin tertarik sama mereka. Aku baru mulai denger lagu-lagu mereka
di album pertama (telat banget, asli), dan berujung dengan jatuh cinta sama
lagu “Dear Friend” dan “Selalu di Hati”.
Ada cerita sama
lagu “Dear Friend” nih. Waktu itu, setelah rapotan kelas 11, aku dapet isu kalo
pas kelas 12, anak-anaknya bakal balik kaya pas kelas 10. Which is, itu artinya
aku bakal pisah dari sahabatku, Jo. Itu Jo sendiri yang ngasih tau aku. Aku shock
waktu itu. Soalnya aku udah klop banget sama anak-anak 11 IPA 1. Nah habis
dibilang gitu sama Jo kan aku jadi galau. Dia bilang, “Udah tenangin diri dulu
sana.”
Aku matiin hape,
trus tarik selimut. Tapi di kasur pun aku cuma glundungan gabisa tidur, trus
malah nangis kalo inget gabakal sekelas sama Jo. Udah hampir 1 jam glundungan
gitu, akhirnya aku putusin buat nyalain laptop, trus muter lagu-lagunya HiVi!
dan ‘nyangkut’ ngerepeat “Dear Friend”. Sampe akhirnya, aku tau makna
sesungguhnya dari lagu itu. Nggak keitung udah berapa kali muter lagu itu. Intinya,
malem itu, karena lagu “Dear Friend” aku jadi tenang lagi. Aku suka banget sama
lagu itu, bahkan sampe ketika tulisan ini dibuat.
***
Oke intronya
kepanjangan ternyata. Hmm *kebiasaannya Vina*. Dan mungkin pada bertanya apa
hubungannya kejadian yang mau aku ceritain, sama kejadian di dua paragraf di
atas.
Jujur aja aku
baru mulai merhatiin HiVi setelah ketemu sama mereka. Baru mulai dengerin
lagu-lagu di album pertama, karena selama ini kan cuma tau lagu-lagu mereka
yang diputer di radio. Setelah rutin dengerin lagu-lagu mereka, aku baru notice kalo aku suka sama lagu “Dear
Friend” yang akhirnya punya cerita sendiri buat aku.
Sebenernya aku
kadang bingung sama diriku sendiri. Fans iya, tapi nggak fanatik, ngaku
penikmat musik, tapi sebenernya nggak 100% tau lagu-lagunya. Itu berlaku untuk
beberapa musisi, termasuk HiVi. Aku menikmati musik mereka, aku seneng kalo
bisa ketemu mereka, suka cari tau tentang mereka, tapi.............gimana ya nulisnya.
Mungkin aku nggak
bisa digolongkan sebagai fans sejati, bukan fans yang tergabung dalam
fanbase-fanbase. Aku hanya seorang penikmat karya. Aku suka lagunya, mengagumi
karyanya, dan mengapresiasinya dengan nggak mengunduh lagu mereka secara
ilegal. Aku mengaku fans, tapi nggak yang sampe fanatik. (jadi sebenernya kamu ini fans atau bukan sih, Vin? Aku juga bingung
astagaaaa. Mungkin malah akan ada orang lain yang lebih bisa mendefinisikan
diriku untuk hal ini.)
Ada banyak hal
yang sebenernya pengen banget aku sampaikan. Kondisi ini sepertinya jarang, dan
mungkin nggak banyak orang yang bisa mengerti keadaanku. Aku bingung sih
sebenernya mau mulai ini dari mana, tapi, biar kucoba.
Mungkin banyak di
antara temen-temen SD, SMP, sama SMA ku yang tahu kalo aku sering ketemu public figure, khususnya musisi. Dan
mereka kerap tanya “Kok bisa sih?” aku suka susah jawab pertanyaan itu, karena
aku sendiri pun nggak tau mau mulai menjelaskan dari mana. Aku takut dikira
sombong, takut salah omong trus malah jadi masalah.
Aku juga lupa,
sebenernya kapan tepatnya aku mulai punya akses untuk ketemu banyak musisi. Dan
itu semua nggak jauh-jauh dari Papaku. Beliau adalah seorang kolektor kaset
Indonesia. Ada ribuan pita magnetik itu di rumah, menjadi barang koleksi.
Beliau udah mulai mengumpulkan kaset......entahlah, bahkan mungkin sebelum aku
ada di dunia ini. Papa memang hobi mengumpulkan karya musisi-musisi Indonesia.
Dan itulah yang bikin beliau dikenal.
Source: @generasi90an on Instagram
Sekarang, semua
karya bisa dinikmati secara digital, orang nggak perlu susah-susah beli
CD/kaset cuma untuk dengerin satu lagu. Tinggal buka aplikasi streaming, lantas
hanya dengan satu ketukan di layar ponsel, voila! Lagu yang pengen kita
dengerin sudah ada di genggaman. Beda sama jaman dulu, ketika kita cuma pengen
dengerin 1 lagu, tapi kita harus beli albumnya, karena jaman itu nggak ada yang
namanya aplikasi streaming atau pun situs yang
menyediakan lagu untuk diunduh (hampir semua secara illegal, yang mana
itu berarti pembajakan karya).
Hobi Papa adalah
beli CD/kaset ori dari para musisi yang Papa suka. Melihat Papa yang selalu
beli CD ori, itu juga menumbuhkan kecintaan aku sama musik-musik tanah air. Aku
punya banyak lagu, dan lagu-lagu itu aku punya secara legal. Karena MP3 itu aku
dapet dari Papa, yang membeli album secara resmi. Well, itu adalah alasan aku
hampir nggak pernah mau ngeshare lagu kalo ada temen yang minta. Mereka dengan
gampangnya minta, sementara lagu itu aku miliki nggak secara cuma-cuma.
Barangkali aku
memang tumbuh di lingkup yang berbeda. Pengaruh yang diberikan Papa ke aku
mengubah sudut pandangku tentang industri musik. Aku melihat banyak hal yang
berhubungan dengan musik lewat kacamata yang berbeda dari kebanyakan anak-anak
seusiaku. Aku sedikit banyak mengerti tentang bagaimana proses sebuah
penciptaan karya, dan lika-liku di dalamnya.
Mungkin bagi
sebagian orang mengunduh lagu dari internet adalah hal biasa, sementara aku
melihat itu sebagai suatu pembajakan karya, tindakan kriminal. Proses yang sungguh
menguras waktu dan tenaga seolah diabaikan begitu saja ketika banyak orang
punya lagu-lagu mereka secara illegal. Anehnya, banyak juga orang yang kalo
bikin sesuatu, trus sama orang lain nggak diapresiasi, eh marah. Dunia emang
udah kebalik.
Makin ke sini,
semua itu bukannya berkurang, tapi justru semakin menjadi. Di Indonesia,
permasalahan hak cipta hampir nggak diperhatiin. Semua orang bertingkah masa
bodoh dan nggak ngerasa bersalah ketika ‘nyomot’ gambar orang lain tanpa
mencantumkan sumber. Copy-paste
tulisan orang tanpa ngasih sumber dianggap hal biasa. Apalagi mengunduh lagu
secara illegal, mana ada yang peduli? Hal-hal kaya gitu pada akhirnya merugikan
bangsa kita sendiri. Mental yang kebentuk adalah mental-mental yang nggak
ngerasa bersalah ketika nyomot punya orang lain tanpa ijin. Menta-mental yang hampir
nggak menghargai hak cipta.
***
Lantas, apa
hubungannya hobi Papa tadi sama tulisan ini? (Aku bener-bener bingung nyari
‘ujung benang’ dari permasalahan ini, tapi akhirnya sedikit-sedikit aku bisa menemukannya).
Mungkin sekarang
udah jarang banget ada orang yang hobinya kaya Papa. Kalo orang biasanya
koleksi sepatu, buku, perangko, atau mungkin tanaman hias, lain sama Papaku.
Papaku koleksinya album yang bentuknya compact
disc atau kaset. Iya, kaset. Mungkin barang itu udah nggak diproduksi lagi,
dan gulungan pita itu telah tergantikan dengan compact disc, tapi sekrang CD pun udah tergantikan lagi sama bentuk
digital.
Hobi Papa
ngumpulin album itulah yang menjadi ‘tiket’ aku bisa ketemu musisi. Iya,
‘tiket’. Berbekal koleksi, keberanian, dan relasi yang Papa punya, Papa
senantiasa mencoba untuk ketemu sama musisi yang karyanya beliau koleksi, untuk
minta tanda tangan. Dan dari situ, kadang orang-orang yang dimintai tanda
tangan malah tercengang sama koleksi Papa, karena beberapa dari mereka aja
nggak punya.
Perlahan-lahan,
relasi yang Papa punya semakin berkembang, dan itulah yang memudahkan beliau
(kadang juga aku dan adekku) buat ‘ketemu’. Pertemuan-pertemuan yang banyak
teman-teman lihat itu, sebenarnya bukanlah sebuah perjuangan mudah.
Aku suka bingung
banget kalo ditanyain temen, ‘sebenernya Papamu kerja apa, Vin? Kok bisa ketemu
banyak artis?’. Biasanya aku jawab, ‘Papaku guru privat, tapi beliau juga blogger,
banyak nulis tentang musik Indonesia’ dan berharap jawaban itu cukup.
Sebenernya itu memang kenyataan. Papa adalah seorang guru privat yang juga blogger.
Bagian ‘Papaku adalah kolektor kaset’ jarang aku sampaikan. Karena kupikir
banyak temen yang nggak akan ngerti yang bener-bener ‘ngerti’.
Mobilitas Papa
yang tinggi, loncat dari satu gigs ke
gigs lainnya, untuk menyalurkan
hobinya yang lain, yaitu stage
photography, barangkali juga membuat banyak temen ‘pernah liat Papa’.
Bahkan beberapa kali pernah dichat temen, “Vin semalem aku liat Papamu di acara
x,” atau “Vinn ada Papamu di sinii aku liat,” dan beberapa kalimat serupa
lainnya.
Kalo misalnya
ditanyain temen, “Kok kamu bisa sih ketemu artis X, Y, dst?” aku dengan jujur
bilang, “Papaku janjian sama managernya,” dan aku akan bungkam kalo ditanya
‘kok bisa kenal?’. Karena aku nggak pernah punya kalimat yang baik untuk
menjelaskan itu semua. Kadang cuma bisa
senyum, karena nggak tau harus jawab gimana. Sebenernya, bukan hal yang
mustahil untuk menjalin relasi dengan orang yang belom pernah kita kenal
sebelumnya, kan? Papa berani menjalin relasi sama banyak orang yang beliau nggak
kenal sebelumnya, dan itulah yang membuka akses untuk ketemu.
Jujur, aku suka
sedih banget sama kondisi ini. Bukannya nggak bersyukur dengan segala kemudahan
dan Papaku yang seorang kolektor, bukan. Tapi, apa ya. Sebenernya, nggak tau
juga mau cerita gimana.
Di satu sisi, aku
punya kemudahan untuk ketemu beberapa musisi gitu, tapi di luar sana, banyak
banget fans berat yang belom tentu seberuntung aku. Itu hal yang bikin aku
sedih. Beberapa kali pernah ngajakin temen buat ketemu gitu. Dan entah kenapa, aku
seolah punya ‘beban’ karena keadaan itu, dan aku jadi kaya punya ‘kewajiban’ buat
bantu temen yang ngefans sama musisi tertentu. Kenapa? Karena Puji Tuhan aku
punya akses itu, aku punya caranya. Dan, kenapa nggak untuk membagikan itu?
Tapi, seringkali
aku malah gagal buat ngajak temen. Entah karena kondisi nggak memungkinkan,
atau juga karena aku orangnya ‘gaenakan’ kalo ngerepotin orang lain gitu (dalam
hal ini, artinya bikin temen nunggu lama). Dan bakal jadi ngerasa bersalah
banget kalo udah ngajakin, nunggu lama, eh gagal ketemu. Kegagalan kaya gitu
aku mengerti banget, tapi belom tentu orang yang aku ajak mengerti.
Terkadang, kalo
aku upload foto di Instagram, nggak
sedikit temen-temen yang komen, menyatakan ‘kecemburuan yang tak terbaca secara
kasat mata’ dan itu kerap bikin aku ngerasa bersalah.
Kalo kamu ngerasa bersalah, kenapa masih diupload
di ig, Vin?
Jujur, sebagai
seorang manusia biasa, aku punya keinginan untuk ‘diperhatikan’ dan ‘menjadi
pusat perhatian’ Aku juga punya ego yang terkadang pengen aku salurkan, yang
terkadang nggak bisa aku simpan. Kadang ya pengen membagikan ‘pencapaianku’ ke
media sosial. Seperti orang pada umumnya.
Sebenernya pernah
banget bahas ini di postingan tahun 2013. Waktu itu umurku masih 14 tahun, dan
gaya bahasaku beda banget sama yang sekarang. Dulu cenderung nggak milih kata
dan seenaknya sendiri nyangkem seenak
jidat. Di postingan itu aku membahas gini, ketika aku habis ketemu sama musisi
idola, besoknya di sekolah, minimal ada aja temen yang bilang ke aku: “Kamu tu
kok beruntung banget e, Vin.” Pembahasanku di tahun 2013 sama pembahasanku di
sini beda banget, tapi masih punya makna yang sama.
Tiga tahun kemudian,
aku ingin menuliskan kembali hal itu, tapi dengan gaya bahasa yang berbeda.
***
Minggu, 4
Desember 2016 yang lalu, kejadian serupa semakin menguatkan aku untuk nulis. Sebenernya,
nggak ngerti juga sih ini jenis tulisan apaan.
Jadi hari itu, Papa
udah janjian sama managernya HiVi! buat ketemu habis wawancara di radio. Aku
sama Papa nungguin di hotel. Dan begitu HiVi dateng, (menurutku) mereka menyapa
Papa dengan berbeda. Papa memang lebih dari sekedar fans biasa. Beliau adalah
seorang kolektor dan penikmat karya. Ada antusiasme yang aku rasakan waktu aku
sama Papa ketemu HiVi lagi sore itu (btw penilaianku sama penilaian orang lain
pasti beda).
Minggu, 4
Desember 2016, di mana seharusnya aku belajar buat ujian kimia di hari Senin,
aku malah ikut Papa buat ketemu HiVi. Mungkin ini alay, tapi ada semacam
kerinduan buat ketemu HiVi. Sore itu, aku merasakan ada atmosfer yang amat
sangat menyenangkan antara aku, Papa, dan HiVi. Pas pertemuan itu juga, Papa
bawa cover kasetnya salah seorang musisi, yang merupakan Ibunya kak Ezra
Mandira. Dan itu berhasil mengundang gelak tawa juga antusiasme yang bikin aku
bahagia. Bikin aku bangga banget punya seorang Papa yang merupakan kolektor
karya.
Dari banyak
kejadian yang aku lihat, Papa begitu diapresiasi oleh banyak musisi
Contoh apresiasi lain
yang pernah aku lihat langsung adalah kak Febri yang menggunggah foto Papa di
Instagram pribadinya dan menulis sebuah caption yang cukup panjang. Itu adalah
kali pertama aku lihat apresiasi yang diberikan kepada Papa secara langsung.
Kejadian itu kutulis secara rinci di postingan berjudul “Mengenal Lewat Karyaadalah Sebuah Proses Jatuh Hati”. Dan kali keduanya adalah kemaren Minggu,
waktu kak Ezra dengan antusiasnya memotret cover kaset yang dibawa Papa.
Hal lain yang
juga bikin aku bahagia, sampe speechless nggak tau harus ngomong apa lagi
tentang hari Minggu di mana aku mengabaikan kimia adalah, sore itu, aku bisa
ngobrol sama kak Ezra, kak Febri, kak Neida, dan kak Ilham. Seolah nggak ada
dinding pemisah. HiVi sangat deket dan akrab banget sama para fansnya.
Aku kemaren punya
kesempatan buat ngobrol banyak sama kak Ezra dan kak Febri. Banyak hal-hal yang
sebenernya nggak penting tapi jadi bisa bahan obrolan. Bahkan, aku masih suka
senyum-senyum nggak jelas kalo inget bisa punya kesempatan berharga seperti itu
(harap maklum sekolah homogen cewek semua, jadi ya, baperan gini). Nggak pernah
membayangkan bisa ngobrol sama kak Ezra. Aku menemukan sosok teman berbagi yang
amat menyenangkan. Kalo aku boleh bilang, kak Ezra sama kak Febri ‘lebih kaya
abang dan teman ketimbang idola’. Aku bener-bener bersyukur banget, nggak ada
habisnya rasa syukurku sama Tuhan atas berbagai kesempatan dan kebahagiaan yang
bisa aku dapatkan.
Sore itu, juga
ada Hifriends (sebutan untuk fansnya HiVi) yang dateng ke hotel. Aku tambah
speechless liat mereka yang dateng, rame-rame, dan bela-belain bawa beberapa
barang untuk idolanya. Aku senyum lebar banget liatnya, karena aku bisa
merasakan kebahagiaan yang mereka rasakan. Bener-bener nggak bisa ngomong
apa-apa lagi liat kak Ezra, kak Febri, kak Ilham dan kak Neida yang akraabbb
banget sama Hifriends. Seumur-umur punya ‘akses’, aku belom pernah liat ada
sosok idola yang bener-bener membaur sama fansnya sedemikian rupa. Aku jadi
tambah jatuh hati sama HiVi!
***
Sebenernya, apa maksud tulisan ini, Vin?
Sebenernya
maksudnya sederhana, tapi aku selalu kesulitan kalo mau cerita tentang ini. Dan
entahlah, kayaknya bukannya menjawab, tapi tulisan ini justru bikin tambah
bingung. Tapi, yang sebenernya selalu ingin aku sampaikan ketika aku bisa
ketemu musisi adalah, pertemuan itu adalah hasil kerja Papa mengumpulkan
karya-karya musisi idolanya. Dan barangkali, itu adalah sebuah anugerah.
Anyway, di tulisanku di tahun 2013, aku secara lebih blak-blakan cerita tentang
hal ini. “Bagaimana dalam hidup selalu ada terang gelap, tawa dan air mata.”
“I am so grateful that I have a life like this.” –
vin
Aku nggak ada
kata lain selain terima kasih sama Tuhan atas semua kebahagiaan dan pelajaran
dalam hidup ini. Termasuk di dalamnya akses yang aku punya untuk ketemu tokoh idola,
dan bahkan jadi deket sama mereka. Ada teman yang aku ceritakan tentang hal ini
dan ia lantas bilang, “Layak kok Vin misalnya mereka merespon kamu seperti itu.
Kamu istimewa.” Aku cuma bisa senyum dengernya.
Trus, gimana rasanya Vin, bisa ketemu idola gitu?
Yang pertama,
jelas bahagia banget. Itu perasaan yang bener-bener nggak bisa digambarkan. Sampe
kapanpun, meski ada beberapa musisi yang aku ketemunya udah lebih dari sekali,
tetep aja rasanya bahagia banget. Masih suka tremor kalo nungguin gitu, masih sering deg-degan trus tangannya
dingin kalo nungguin idola. Kemaren waktu nunggu HiVi, aku juga tremor gak berhenti, trus gak konsen
belajar kimia (jadi ceritanya kemaren pas nunggu HiVi aku bawa buku kimia). Waktu
aku nunjukkin ke Papa kalo tanganku tremor,
Papa cuma bilang, “Papa udah nggak sih.” Trus aku diem seribu
bahasa............
Papa pernah
bilang, kalo prinsipnya Papa, nggak mau minta foto kalo Papa nggak punya album
musisi yang bersangkutan. Dan aku rasa, Papa bener-bener udah menjalani prinsip
itu. kalo aja hari itu aku nggak minta Papa beli album pertamanya HiVi, mungkin
sampe kapanpun kejadian kemaren Minggu nggak akan terjadi. Dan sekali lagi, aku
bangga banget sama Papa :D
***
Tulisan ini butuh waktu hampir 3 hari. Soalnya aku
gampang kedistraksi, jadi baru bener-bener bisa serius nulis di atas jam 10
malem. Semoga, tulisan ini bisa menjadi jawaban dari pertanyaan “Kok Vina bisa
ketemu si X, Y, dll?” dan pertanyaan-pertanyaan lainnya. Entahlah, tulisan ini
kayaknya nggak jelas banget, tapi semoga bisa memberi gambaran tentang siapa
Papaku, dan kenapa aku bisa ‘ketemu’. Puji Tuhan.
Kalo untuk pertanyaan “Kok nggak ajak-ajak sih,
Vin?”, jujur aja, aku pengen ngajak. Pengen banget. Tapi..........terlalu
banyak temen yang pengen aku bantu. Satu-satu ya, teman. Mudahan, aku segera bisa
mewujudkan mimpiku buat jadi dosen yang part time journalist. Khusunya, mungkin
jurnalis musik, jadi bisa bantu temen-temen. Hopefully yes :D
Well, aku tau tulisan ini makin ke sini jadi makin
nggak jelas. Tapi, semoga seenggaknya bisa melegakan hati.
Cheers,
Vina Kanasya
*) P.s: mungkin banyak yang merasakan perbedaan
gaya bahasa dalam tulisan ini, ketika di depan, tengah, dan di akhir tulisan.
Itu karena aku tulisan ini nggak cuma satu hari dibuat, dan terkadang distraksi
itu sangat mempengaruhi gaya bahasaku.
Aku penikmat tulisanmu ini vinaa.. Ikuttt seneng atas kekagumanmu terhadap HiVi! , terimakasih juga sudah mencantumkan kita (hifriends) di dalam postinganmu ini. Sampai berjumpa di hari baik selanjutnya �� salam dari kami (hifriends Jogja)
ReplyDeleteTerimakasih, kak! :D semoga suka tulisannya, ya 😊
DeletePasti vin. Pasti suka. Kamu sayang banget ya sama HiVi. Terimakasih 🙏
DeleteWiting tresna jalaran saka kulina, kak :")
DeleteAku penikmat tulisanmu ini vinaa.. Ikuttt seneng atas kekagumanmu terhadap HiVi! , terimakasih juga sudah mencantumkan kita (hifriends) di dalam postinganmu ini. Sampai berjumpa di hari baik selanjutnya �� salam dari kami (hifriends Jogja)
ReplyDeletewas here since you said you want to write this. akhirnya upload juga haha :))
ReplyDeleteAm I? Aku lupa banget 😂 butuh waktu mengendapkan tulisan paling nggak 3 hari, kak 😂
Delete