Gembok, Kunci, dan Cerita di Dalamnya

Retret /retrét/ n mengundurkan diri dari dunia ramai untuk mencari ketenangan batin

Udah seminggu berlalu setelah retret kelas XII. Dan habis retret, nggak tau kenapa kok aku jadi tambah pendiem, jadi lebih sering mikir ‘kenapa’. Banyak sesi pas retret yang bikin aku merenung banget. Terlebih beberapa serba-serbi retret lainnya yang bikin aku tambah menutup diri dan lebih banyak nyimpen semuanya sendiri. Cuma tertawa seperlunya, tersenyum ketika dirasa butuh. Dan hanya berbagi ketika merasa hal itu layak untuk dibagikan.

Pas retret, hapenya dikumpulin sebelum acara mulai, dan baru dibalikin setelah makan siang di hari Sabtu. Aku nggak ada masalah dengan itu, karena beberapa waktu terakhir ini juga lagi berusaha membiasakan diri nggak terikat sama hape. Ditambah dengan kesadaran, kalo retret emang saatnya untuk menjauh sejenak dari peradaban, dari gadget, untuk kemudian kembali bersosialisasi dengan orang lain secara langsung. (efek artikel Bahasa Inggris dari Mister Arko juga nih. Untung udah selesai). Aku bersyukur hapenya dikumpul, karena kalo nggak, mungkin retret ini nggak ada bedanya sama kegiatan bersama (gadget) yang lain.

Pas retret, aku dapet banyak banget pelajaran hidup. Retret bikin aku lebih jauh mengenal siapa diriku sebenarnya, apa yang aku mau, impianku, dan jalan hidup mana yang sebenarnya aku pilih. Salah satu hal yang baru aku sadari ketika retret adalah simbol diriku. Aku menemukan bahwa aku seperti sebuah gembok, tertutup, terkunci, dan hanya bisa dibuka dengan kunci yang sesuai. Itulah diriku. Banyak rahasia yang kusimpan untuk diriku sendiri, dan hanya teman-teman tertentu yang aku percaya untuk ikut menyimpan cerita itu. Aku juga nggak tau siapa saja orang-orang itu. Mereka bisa saja orang-orang yang memang sudah kukenal lama, tapi bisa juga mereka yang baru kukenal. Aku berharap, orang-orang yang udah aku anggep sebagai kunciku (karena aku percaya sama mereka), nggak menyalahgunakan kepercayaanku, dan bisa ikut menyimpan cerita itu.

“Ada yang mendekat agar punya teman cerita. Ada yang bercerita lalu dekat. Ada yang berusaha dekat hanya untuk menjadikanmu bahan cerita.” –jinggakalasenja

Misalnya, aku baru kenal sama seseorang, aku manggilnya kak Alfa. Kenalnya mungkin baru sekitar sebulan yang lalu karena urusan kerjaan. Jadi, aku nulis untuk majalah Dialogue, dan kak Alfa ini kayaknya tanggung jawab untuk dokumentasi dan tata letak. Jadi waktu itu janjian mau ke Stero, untuk motret bareng 2 temennya, kak Viko sama kak Titus. Sejak itu, jadi banyak ngobrol juga sama kak Alfa. Biasanya seputar fotografi (meskipun aku amatiran), atau kadang hal-hal gapenting pun ikut dibahas :)) Obrolan random itu jadi intermezzo di sela-sela kesibukan dan ke-hectic-an tugas-tugas kelas 12. Seneng bisa punya temen ngobrol kaya kak Alfa, kak Viko, kak Sari, dan kakak-kakak yang lainnya. Aku emang tipikal yang suka ngobrol, siapa aja diajakin ngobrol. Kakak kelas, adek kelas, temennya Mama, temennya Papa (except temennya Vivi. Itu pengecualian. Garis keras), mas mbak PPL, Bapak Ibu Guru, pak satpam, mahasiswa-mahasiswa lain, (bahkan) abang ojek online, dll. Kak Alfa udah jadi temen ngobrol yang enak banget diajak cerita. Thanks, kak!

Balik ke topik awal (maklum ya udah malem jadi bahasannya kemana-mana). Retret kemaren juga bikin aku sadar, ngurusin hidup orang lain, ngomongin kejelekan orang lain, menjadi orang yang bukan diri kita sendiri, ikut-ikutan orang supaya dikenal, itu semua nggak ada gunanya, buang-buang waktu. Nggak ada untungnya sama sekali di kita. Apa untungnya ngurusin hidup orang lain? Kadang ngurus hidup sendiri aja masih suka keteteran. Ngomongin kejelekan orang? Jadi dosa untuk diri sendiri. Jadi orang yang bukan diri kita? Kalo gitu terus, kapan kita menemukan jati diri kita yang sebenarnya? Ikut-ikutan orang lain supaya dikenal? Kamu nggak akan dikenal sebagai dirimu sendiri. *self noted, banget.*

Time flies, nggak kerasa aku udah duduk di tahun terakhir SMA. Dunia putih abu-abu ini akan segera berakhir. Dan, rasanya pengen cepet-cepet lulus trus kuliah. Meskipun guru-guru, mas mbak PPL, dan para mahasiswa yang aku kenal bilangnya enakan SMA daripada kuliah. Aku tau besok lusa aku akan merindukan segala jenis kekacauan, keramaian, dan hiruk-pikuk semasa SMA, tapi sekarang rasanya pengen cepet-cepet menanggalkan titel ‘anak SMA’. Hanya sedikit sebenarnya memori masa SMA yang akan aku peluk dengan baik. Yang lain? Silahkan dinilai sendiri.

Pas retret, aku juga lebih banyak ngobrol sama para fasilitator ketimbang sama temen-temen. Aku ngerasa lebih dimengerti sama orang-orang dewasa seperti Romo Sany, Frater Wawan, Suster Renata, Bu Yohana, sama Babe. Terlebih, omonganku lebih sering nggak nyambung sama anak-anak sepantaran. Aneh, ya? Kalo kata Suster Renata, ini semua karena keadaan yang memaksa diriku untuk jadi dewasa sebelum waktunya. Topik pembicaraanku udah beda banget sama anak-anak seusiaku. Dibanding ngomongin tren (meski aku juga kadang bahas itu, sama temen-temen tertentu), aku lebih milih untuk membahas masa depan, buku, quotes, wacana, dan passion. Mindestnya udah beda, ketika mau ngobrol sama temen sepantaran, pengennya ngomongin dunia sekolah, tugas bapak fisika, praktikum ibu biologi. Dan seperti remaja lainnya, mereka paling ogah bahas begituan. Jadi, kadang lebih milih diem, ngikut kemana arus pembicaraan mereka, Cuma jadi pendengar.

Ditambah, aku orangnya gaenakan. Kadang pengen nyela, tapi ga enak. Pengen bilang, tapi ga enak. Pengen cerita, tapi ga enak. Hmmm. Tapi trus nyesel sendiri #elah. Aku juga bukan tipikal yang berkelompok. Aku fleksibel main sama siapa aja, ngobrol sama siapa aja. Dan karena itu juga, kadang muncul perasaan ‘gaenak ah kalo mau nimbrung’ padahal pengen banget. #zzzz. Itu salah satu sifat yang pengen banget aku perbaikin.

Masih ada beberapa ide lain yang nyangkut di otak. *sigh* terlalu banyak ide tulisan, tapi terlalu sedikit waktu yang aku punya. Salah satunya tentang Journalist Camp, yang baru aja selesai tadi siang. Dari Journalist Camp, aku membawa pulang gelar Best Writer. Gelar yang sebenernya nggak aku kejar, karena udah pesimis duluan. Tapi, Tuhan selalu punya rencana. Aku udah hampir membatalkan rencana kedatanganku ke camp itu karena kondisi fisik. Tapi, lewat seorang panitia, Tuhan minta aku untuk pergi ke camp, untuk menyambut gelar itu. (tunggu cerita selengkapnya ya).

Btw, ini juga sudah memasuki tahun ke-5 aku nulis di blog. Masih nyaman dengan semua kesederhanaan blog ini, meski jaman dulu sempet ngambek sama blog, kok susah banget mau pasang blogskins, tapi sekarang jadi sayang banget sama blog ini dengan segala kesederhanaan dan isinya yang aku tulis dengan cinta. Dan, makasiiihh banget buat kalian para readers yang udah setia baca blog ini. Warmest hugs!

Sampe di paragraf ini, aku masih belom menemukan judul. “Sepenggal Cerita Retret Kelas XII” atau “Potongan Cerita Retret” terdengar mainstream. Lagian, tulisan ini memang bukan tentang retret, tapi bagaimana aku berefleksi dari retret. Dan mungkin, judul di atas udah paling sesuai sama kata hatiku. Kata Mas Jeje, PPL Bahasa Indonesia, ‘judul itu kan kepuasan tersendiri bagi setiap penulis’.

Well, tunggu ceritaku selanjutnya, ya!



Cheers,

Vina Kanasya

Comments