Pergi Bersama Hujan

Awan gelap yang sejak siang tergantung di langit akhirnya membasahi bumi dengan isinya. Aroma tanah mulai tercium, membawa siapa saja ke lorong-lorong masa lalu. Suasana di kota itu semakin romantis, apalagi ini adalah malam minggu. Lampu-lampu jalan mulai dinyalakan, beberapa tempat makan yang buka saat petang mulai menggelar tikar.

Bella duduk sendirian di sebuah kafe di ujung jalan itu. Pandangan matanya sempurna terarah ke jalanan yang tengah diguyur hujan. Ia sedang menunggu sang kekasih.
“Sorry, Bell. Udah lama ya?”

Seorang laki-laki mengagetkan Bella yang sejak tadi masih menatap keramaian jalan. Bella segera tersadar dari lamunannya.

“Tebak sendiri aja.”
“Yah, jangan marah dong, Bel.”
“Setiap kali kita bikin janji ketemu, kamu selalu telat. Mau sampe kapan?”
“Sorry, Bel. Kan kamu tau—“
“Aku gamau denger apa-apa lagi, Steven. Alasan kamu selalu sama kok. Aku udah bosen dengernya.”
“Tapi Bell—“
“Sekarang jam berapa?”
“Jam 5.”
“Kita janjian jam berapa?”
“Jam 3,” jawab Steven takut-takut.
“Kelewatan kamu kali ini.”
“Bella, aku bahkan belom jelasin alasan aku telat. Emang kamu ngapain sih ngajakin aku ketemu? Kamu tau kan aku lagi banyak urusan, aku tuh sibuk. Aku harus kerja keras—“ Nada bicara Steven mulai meninggi.
“Aku cuma mau ngasih ini. Sekarang semuanya selesai ya. Happy birthday, Steven,” potong Bella dingin. Ia lantas melempar sebuah kotak, lalu bergegas mengambil tas dan pergi.

Perlahan Steven mengambil kotak itu dan membukanya. Steven terkejut. Kotak itu berisi sebuah penjepit dasi, benda yang selalu ia inginkan. Steven dan Bella pernah merangkai mimpi bersama. Kelak, Bella akan menjadi dokter dan Steven akan menjadi seorang eksekutif muda.

“Bella tunggu!” teriak Steven.

Bella tak menoleh. Ia meninggalkan Steven dengan tanda tanya besar.

***

“Kamu dari mana, Bel?” tanya Bunda.
“Eh, Bun. Habis makan sama Steven.”
“Bunda pikir kamu ke rumah sakit. Sudah lama sekali kamu ndak chek-up sama Dokter Albert, Bella.”

Bella hanya terdiam mendengar omelan Bundanya.

“Bun, urusan hidup mati kan di tangan Tuhan. Manusia nggak punya hak apa-apa untuk mengintrupsi sama sekali. Kita nggak bisa menyalahkan siapapun untuk kondisi Bella sekarang.”
“Tapi, Nak, Bunda nggak mau kehilangan kamu. Sudah cukup Bunda kehilangan Ayah. Bunda nggak mau kehilangan untuk kedua kalinya, Nak.”
“Bunda, Dokter Albert bilang kan, terapi itu nggak akan bikin Bella sembuh, percuma.”
“Kamu itu emang paling keras kepala, Bella. Persis ayah kamu. Ya sudah, sekarang kamu mandi, habis ini kita makan ya.”
“Siap, Bunda. Bella mandi dulu ya.”

Bunda Anna tidak habis pikir, bagaimana Bella bisa memiliki pemikiran seperti itu. Bella baru genap berusia 17 tahun seminggu yang lalu, bagaimana bisa ia berpikiran seperti itu? Anak semata wayangnya itu telah mengidap leukimia stadium 3 sejak usia 15 tahun. Sebuah penyakit keturunan dari keluarga ayahnya. Bunda Anna yang semula berniat memeriksakan Bella yang sering pingsan dan mimisan, malah harus menghadapi kenyataan pahit bahwa Bella mengidap leukimia, penyakit yang sama yang dulu merenggut nyawa suaminya.

***

Makan malam di ruang makan itu terasa amat ganjil. Bella dan Bunda saling bisu, tak ada yang berniat membuka percakapan seperti biasanya.

“Kamu jadinya mau kuliah apa, Bel?” Bunda membuka percakapan setelah 10 menit saling bisu.
“Bella pengen banget ambil kedokteran, Bun.”
“Kenapa kamu pengen banget ambil kedokteran? Biayanya bukannya mahal, ya?”
“Bella akan berusaha cari beasiswa, Bun. Biar uangnya bisa Bunda pake untuk usaha.”
“Kamu pasti bisa, Nak. Bunda yakin itu.”
“Semoga kelak Bella sempat merasakan jadi mahasiswi kedokteran ya, Bun.”
“Maksud kamu?”
“Nggakpapa, Bun. Bella ke kamar dulu ya.”

Meski menggantung, Bunda Anna tahu maksud Bella. Hatinya amat tersayat mengingat maut bisa kapan saja menjemput Bella.

***

Seusai makan malam, Bella berdiam diri di kamar, ia masih memikirkan keputusannya untuk berpisah dari Steven, kekasih hati yang telah mengisi hari-harinya selama 3 tahun terakhir. Sesungguhnya Bella tak ingin berpisah dari Steven, namun, akhir-akhir ini firasatnya kurang baik. Ia merasa bahwa sebentar lagi ia akan pergi, dan lebih baik ia memutuskan sang kekasih agar sang kekasih bisa mencari penggantinya, dan merasa tidak memiliki ikatan apapun dengannya ketika nanti ia pergi.

Bella juga tak mau berpisah dari sang Bunda, tetapi entah kenapa firasatnya bilang bahwa ia tak punya banyak waktu. Bella merasa bahwa ia harus mengubur impiannya untuk menjadi mahasiswi kedokteran di salah satu perguruan tinggi negeri favorit di kotanya.

Bella bangkit dari tempat tidurnya, mengambil buku harian miliknya, lalu mulai menulis. Beberapa kali air matanya ikut membasahi buku harian tersebut, menciptakan jejak tinta. Bella tak sanggup menahan kesedihannya. Ia merasa bahwa waktunya sungguh singkat.

***

“Nak, kamu kenapa? Kok pucat sekali?” tanya Bunda ketika melihat Bella yang baru selesai mandi.
“Ah, perasaan Bunda aja mungkin. Bella nggak apa kok, Bun.”
“Kita ke dokter sekarang, ya. Bunda nggak mau kamu kenapa-kenapa.”
“Nggak usah, Bun. Bella mungkin cuma kecapekan aja kok.”

Tiba-tiba terdengar suara ketukan di pintu rumah mereka.

“Biar Bella yang bukain, Bun.”

Bella kemudian melangkah untuk membukakan pintu. Alangkah terkejutnya Bella ketika tahu sosok yang barusan mengetuk pintunya adalah Steven.

“Bella, please dengerin—“ kalimat Steven langsung terputus ketika melihat Bella amat pucat. “Bella kamu kenapa?”
“Aku gapapa. Kamu ngapain sih ke sini? Semuanya udah jelas kan, aku mau hubungan kita selesai.”
“Bella kamu kenapa? Aku akan pergi kalo kamu kasih tau aku alesan kenapa kamu putusin aku.”
“Aku udah bilang, aku gapapa. Nggak semua hal di dunia ini harus beralasan, kan? Sekarang kamu pergi dari sini.”
“Bella, siapa yang datang? Kok ngga kamu suruh masuk?” terdengar suara Bunda dari dalam. Suara itu mendekat ke arah Bella.
“Lhoh, Nak Steven. Ayo masuk, kamu ini gimana sih, Bell. Nak Steven datang kok ngga kamu suruh masuk? Kamu buatkan minum sana.”

Bella hanya menurut, ia melangkah masuk.

“Ada perlu apa Nak Steven sampai datang kemari? Kamu nggak lagi berantem sama Bella, kan?” tanya Bunda agak menyelidik. Sesungguhnya Bunda tadi tak sengaja mendengar percakapan antara anaknya dengan sang kekasih, sehingga ia bertanya demikian.
“Nggak ada apa-apa kok, Bun. Aku cuma tadi kebetulan lewat aja, terus jadi kangen sama Bella, jadi aku mampir.”
“Oalah, Bunda pikir kamu lagi ada masalah sama Bella.” Namun, Bunda merasa ada yang tidak beres antara Steven dengan Bella.
“Nggak, Bun. Lagian aku kalo ada masalah sama Bella dan jadi diem-dieman, nggak akan lebih dari 1 hari kok.”
“Maaf, Nak. Tadi Bunda nggak sengaja dengar percakapanmu dengan Bella. Ada apa sebenarnya?”

Ketika Steven masih berpikir, apakah akan menceritakan yang sesungguhnya pada Bunda, tiba-tiba terdengar suara gelas pecah di dapur. Sontak Bunda Anna dan Steven langsung bergegas ke dapur untuk mengetahui apa yang terjadi.

“Bella, ada apa, Nak?” tanya Bunda Anna dengan gemetar. Perasaannya tak enak.

Setibanya di dapur, Bunda Anna dan Steven kaget bukan main. Bella pingsan di lantai dapur. Mukanya sangat pucat.

“Bella, kamu kenapa, Nak? Bangun, Nak.” Bunda Anna tak bisa lagi menyembunyikan kekhawatirannya pada Bella.
“Bell, bangun Bell.” Steven memegang wajah Bella. “Bun, mending Bella kita bawa ke rumah sakit sekarang.”

Bunda Anna hanya bisa mengangguk pasrah, ia tak ingin kehilangan Bella.

***

“Dok, tolong selamatkan anak saya. Lakukan apa saja.”
“Kami akan coba semaksimal mungkin, Bunda. Bunda tenang saja.” Dokter Albert berusaha menangkan Bunda, meski ia tahu, sesungguhnya tak banyak yang bisa ia lakukan untuk Bella. Kanker yang bersarang di tubuhnya sudah terlalu ganas karena tak pernah diobati. Sebenarnya, sungguh suatu keajaiban Bella bisa bertahan selama 2 tahun tanpa pengobatan dan terapi.

“Bunda, Bunda yang tenang, lebih baik sekarang kita berdoa untuk kesembuhan Bella.”
“Nak Steven, sebenarnya Bunda tahu kenapa Bella memutuskan hubungan kalian.”
“Bun, nggak usah dibahas. Sekarang ktia berdoa untuk kesembuhan Bella aja.”
“Nak Steven tolong dengerin Bunda dulu. Penyakit yang diderita Bella bukan penyakit main-main, Nak. Bella mengidap leukimia sejak 2 tahun lalu. Dan dia nggak pernah mau diobati, diterapi. Dia bilang kalo hidup mati itu urusan Tuhan. Mungkin itu yang buat Bella memutuskan kamu, Nak.”

Steven terdiam. Ia tak menyangka bahwa selama ini Bella menyembunyikan sesuatu. Ia berusaha menyimpulkan kejadian kemarin dan tadi pagi. Kini Bunda dan Steven sama-sama diam. Mereka menunggu Dokter Albert keluar dari ruang operasi.

***

“Bunda, maafkan kami.”

Tangis Bunda Anna pecah saat itu juga. Mimpi buruknya menjadi nyata.

“Kami sudah berusaha semaksimal mungkin, Bunda. Tapi takdir Tuhan tidak bisa diubah. Kami sungguh minta maaf tidak bisa menyelamatkan Bella...” ucapan Dokter Albert menggantung di udara. “Kami menemukan ini di kantung celana Bella, Bun. Sepertinya surat untuk Bunda,” ujar Dokter Albert sambil memberikan sebuah kertas kepada Bunda.
“Saya permisi sebentar, Bunda. Ada berkas administrasi Bella yang harus saya urus. Bunda bisa masuk kalau ingin melihat Bella untuk terakhir kali. Saya permisi.”

Ditemani Steven, Bunda melangkah ragu ke ruang operasi. Dilihatnya tubuh Bella yang terbaring kaku dan dingin di situ. Pemandangan yang amat menyayat hatinya. Bunda hanya bisa diam, tak sepatah katapun ia keluarkan. Lidahnya kelu. Tak sanggup lagi melihat Bella yang terbujur kaku, Bunda keluar dari ruangan itu.

Steven memandang wajah kekasihnya yang amat manis itu. Ia amat menyesal, mengapa selama ini ia tak pernah bisa datang tepat waktu di setiap janjinya dengan Bella. Steven merogoh kantungnya, menggenggam kotak yang baru ia terima tadi malam. Kini ia mengerti mengapa semalam Bella mengajaknya bertemu, memberikan hadiah itu dan mengatakan bahwa hubungan mereka telah selesai. Air matanya perlahan tumpah membasahi pipi. Dalam hati, ia berjanji bahwa ia akan menjadi seorang eksekutif muda untuk Bella.

Di luar rumah sakit, hujan turun dengan begitu derasnya. Langit ikut menangis atas kepergian seorang gadis bersama mimpi-mimpi besarnya.

***

Pemakaman Bella sore itu sangat ramai. Meski hujan turun, para pelayat terus berdatangan. Bella dikenal sebagai seorang siswi yang ramah, rajin, juga pintar. Temannya banyak, guru-guru juga menyukainya. Tak ada yang menyangka ia akan pergi secepat ini. Hal yang membuat semua orang semakin sedih adalah, ia pergi tepat sehari sebelum pelepasan siswi kelas XII. Seharusnya, besok namanya dipanggil untuk menerima penghargaan sebagai peraih nilai UN tertinggi di sekolahnya. Bella meraih nilai sempurna untuk mata pelajaran kimia, fisika, biologi, dan matematika. Sebuah pencapaian yang amat luar biasa.

Seusai acara pemakaman, Bunda Anna pulang diantarkan Steven dan keluarganya.

“Bu Anna baik-baik, ya. Kalau ada apa-apa, Ibu hubungi kami saja. Tidak usah sungkan,” ujar Ibu Stella, Ibunda Steven.
“Makasih banyak, Bu. Hati-hati di jalan.”

Mobil itu menghilang di tikungan jalan. Bunda Anna menatap rumahnya. Ia harus memulai lembaran baru kehidupannya.

***

Usai membersihkan diri dan menyantap makan malam, Bunda Anna baru membaca surat yang ditulis anaknya yang diberikan Dokter Albert tadi siang. Seharian ini ia belum sanggup membacanya.

Buat Bunda

Bunda, mungkin ketika Bunda baca surat ini nanti, aku udah nggak ada di samping Bunda. Tapi Bunda harus tau, kalo aku akan selalu ada di hati Bunda sampe kapanpun.

Bunda, nggak tau kenapa malem ini perasaan Bella nggak enak. Bella ngerasa kalo Bella akan pergi jauh, ninggalin Bunda. Padahal, selama 17 tahun ini Bunda nggak pernah sedetikpun ninggalin Bella. Bunda selalu ada saat Bella butuh, saat Bella sedih, pokoknya Bunda selalu ada buat Bella. Bunda udah jadi kakak, sahabat, musuh, bahkan ayah buat Bella.

Bunda, maafin Bella yang sering membantah Bunda, bahkan membentak Bunda. Maafin Bella yang waktu itu menyalahkan Bunda atas kepergian Ayah sewaktu Bella masih kecil. Maafin Bella yang nggak bisa bikin Bunda bangga, maafin Bella yang harus pergi sebelum sempet bahagiain Bunda. Bunda udah kasih semuanya buat Bella, tapi Bella nggak bisa kasih apa-apa buat Bunda, bahkan sampai ketika Bella harus pulang duluan.

Bunda, Bella belum pernah bilang langsung sama Bunda kalo Bella sayaaaaanggg banget sama Bunda. Bella gengsi buat bulang, karena Bella pikir, buat apa Bella bilang kalo Bella masih sering bikin Bunda sedih. Sekarang Bella nyesel kenapa Bella nggak pernah bilang langsung sama Bunda. Sekarang, Bella cuma bisa bilang lewat surat ini.

Bunda, Bella boleh minta sesuatu? Bella minta Bunda jangan sedih setiap kali inget aku dan Ayah. Kalau Bunda sedih, kami akan ikutan sedih. Kami mau Bunda bahagia di bumi. Bunda percaya aja, kalau aku dan Ayah akan bahagia kalo Bunda bahagia. Janji ya, Bun?

20 Mei 2016

Bella
***

Air mata Bunda Anna kembali mengalir ketika membaca surat itu. Tapi ia berjanji pada dirinya sendiri, bahwa itu adalah tangisan terakhirnya untuk Bella dan suaminya. Ia akan memulai lembaran baru kehidupannya

***

10 tahun kemudian...

Matahari hampir tumbang di ufuk barat. Seorang pria dengan jas dan dasi terlihat berlutut di salah satu pusara di tempat pemakaman itu dengan membawa sebuket bunga mawar putih.

“Mas Steven?” seorang petugas pembersih makam menyapa pria itu.
“Eh, Pak Budi. Apa kabar, Pak?”
“Baik, Mas. Mas Steven rajin banget ke sini. Kalau ndak salah, ini sudah tahun ke sepuluh, ya sejak kepergian Mbak Bella?”
“Iya, Pak. Saya kangen sekali.”
“Ya sudah, saya tinggal dulu ya.”

Sepeninggalan Pak Budi, Steven kembali termenung melihat makam Bella. Ia amat merindukan Bella. Steven meraih penjepit dasi yang terpasang di dasinya. Satu-satunya benda yang selalu mengingatkannya pada Bella.

“Bell, seandainya kamu masih ada, aku yakin kamu udah jadi dokter paling baik dan paling hebat di negeri ini. Aku masih inget jaman-jaman kita pake seragam putih abu-abu, dan kita merangkai mimpi bersama. Kamu bilang kamu mau jadi dokter, dan aku mau jadi eksekutif muda. Bell, ini semua juga karena kamu aku bisa jadi seperti sekarang. Semangat kamu nggak pernah hilang dari ingatanku. Kamu yang menyadarkanku tentang pentingnya punya mimpi. Dan sekarang, mimpi aku jadi kenyataan, Bella. Makasih sudah menanamkan mimpi yang besar itu padaku. Aku rindu sekali padamu.”

Steven mengusap air matanya yang mengalir di pipi. Ia tak pernah bisa tidak menangis jika mengingat tentang Bella. Steven merogoh kantung celananya. Kotak yang ia terima 10 tahun lalu itu selalu dibawanya ketika ia mengunjungi makam Bella.

***

Di mobil, Steven kembali menyentuh penjepit dasinya, mencari kekuatan dari situ. Ia kemudian melepas penjepit dasinya dan memasukkan benda itu ke dalam kotaknya. Sebelum menutup kotak itu, Steven membuka bagian bawah tempat penjepit dasi tersebut. Bella dulu meletakkan sebuah surat di situ, usai membacanya 10 tahun yang lalu, Steven mengembalikan surat itu dan membiarkannya tetap berada dalam kotak. Kini, ia tertarik untuk membacanya lagi untuk mengobati kerinduannya pada Bella.

Dear Steven,

Aku masih sayang sama kamu, sayang banget. Tapi aku nggak mau mengikat kamu dalam sebuah hubungan yang kelak tidak bisa kau putuskan jika aku sudah tiada. Oleh sebab itu, aku pikir akan lebih baik jika aku yang mengakhirinya. Stev, sesungguhnya aku telah lama mengidap sebuah penyakit yang bisa merenggut nyawaku kapan saja. Ini sudah masuk tahun kedua aku hidup setelah vonis itu. Kata Dokter Albert, ini adalah keajaiban karena aku tak pernah menjalani terapi atau pengobatan apapun. Tetapi, bukan tidak mungkin hidupku aman karena aku telah melewati 2 tahun. Firasatku mengatakan bahwa waktuku nggak banyak lagi.

Stev, boleh aku minta satu hal sama kamu? Tolong raih mimpi yang pernah kita rangkai bersama. Mimpimu, maksudku. Mungkin ketika kelak kamu sudah berhasil meraih mimpimu, aku sudah tiada. Tapi tak mengapa, dari tempatku esok, aku pasti bisa ikut merasakan kebahagiaanmu, Steven.

Steven, tolong maafkan aku yang harus pergi dari hidupmu untuk selamanya. Aku mencintaimu.

19 Mei 2016

Bella
***



Vina Kanasya

Terinspirasi dari berbagai sumber, salah satunya adalah sebuah cerita pendek milik seseorang di blog pribadinya.

Penulis mohon maaf bila ada kesamaan dengan nama-nama tokoh. Cerita ini seutuhnya adalah fiksi, tidak bermaksud untuk menyinggung atau menyindir siapapun. Kritik saran dari kalian sangat aku tunggu. Terima kasih.

Comments